Bagi masyarakat Nusantara sudah tidak asing dengan istilah Makam Auliya‘ (para Wali), terbukti Makam Auliya sangat banyak ditemukan di Indonesia khususnya tanah Jawa. Bahkan, hampir disetiap daerah Kota dan Kabupaten dapat dipastikan memiliki Makam Wali yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar. Diantara yang masyhur (dikenal banyak orang), salah satunya Makam Auliya Syaikh Maulana Magrobi (Al Mahribi) yang ada di Pekalongan dan jumlahnya tidak hanya satu Makam.
Lantas, mengapa banyak Makam dengan nama Maghrobi?, Apakah semuanya itu Asli?, atau banyaknya makam itu adalah petilasan atau petilasan yang sebenarnya hanyalah bekas atau tinggalan dalam bentuk barang dan benda?
Berkaitan dengam hal itu, Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, Pendiri Majelis Kanzus Sholawat Pekalongan yang juga merupakan Rais Aam Jamiyyah Ahlutthariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah (Jatman) memberikam jawaban yang cukup jelas saat diwawancarai oleh Bagian Humas Pemkab. Pekalongan beberapa tahun silam.
Menurut Maulana Habib Luthfi bin Yahya, yang juga merupakan Presiden Sufi se-Dunia menjelaskan. Banyaknya ditemukan Makam Auliya (Wali) bernama Syaikh Maulana Maghrobi (Al Maghribi) di Indonesia khususnya ditanah Jawa, berkaitan erat dengan seorang tokoh besar penyebar Islam di Nusantara bernama Syaikh Ahmad Syah Jalal yang berasal dari India pada awal abad ke 7 hijriyah.
Syaikh Ahmad Syah Jalal yang merupakan cucu dari Raja Naserabad India, pada zaman dahulu sekitar abad ke-14 masehi melakukan hijrah ke Nusantara tepatnya di Tapanuli Provinsi Kalimantan Tengah. Disana kemudian, Ia menikah dengan seorang Putri Champa (Indo-cina, Vietnam-kamboja) dan dikarunia anak bernama Syaikh Jamaludin Husein atau dikenal dengan sebutan Syaikh Jumadil Kubro yang dikaruniai anak sebanyak 11 bersaudara. Kemudian dari sinilah, melahirkan para Ulama dan Auliya’ yang dikenal dengan sebutan Wali Songo sebagai penyebar Islam di Nusanatara.
Syaikh Jamaludin Husein yang populer dipanggil Syeh Jumadil Kubro oleh masyarakat Jawa inilah, yang melakukan perjalanan dakwah bersamanrombongan dari Timur tengah dan Magrobi (sebutan untuk Marokow yang masuk daerah bagian barat dari timur tengah) hingga masuk ke Nusantara sebagai cikal bakal Negara Indonesia.
Pada saat itu, rombongan yang tiba bertemu di daerah Pasai atau Aceh di Sumatera Selatan. Dari sana, rombongan langsung menuju Pulau Jawa tepatnya di Kota Semarang Jawa Tengah dan selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Trowulan-Mojokerto Jawa Timur. Kemudian rombongan dalam menjalankan tugas dakwahnya masing-masing, berpencar dan menyebar kepelosok daerah di Pulau Jawa yang paling banyak berada di Jawa Timur. Selain itu, ada juga rombongan yang berdakwah masuk ke Jawa Tengah dan beberapa daerah baik Kota atau Kabupaten di Jawa Barat. Dari sinilah, kemudian banyak dan mudah ditemukan Makam Auliya’ dipanggil Syaikh Maulana Al Maghribi (Maghrobi) menjadi sangat wajar.
Selain dalam perjalanan tersebut, menyusul rombongan kedua yang dipimpin oleh dua Tokoh besar lainya. Maulana Malik Ibrahim dan Sayyid Ibrohim Asmoroqondi (Assamarqondi) atau Pandito Ratu. Pada waktu itu, rombongan Maulana Malik Abdul Ghofur yang merupakan kakak dari Maulana Malik Ibrohim juga populer dikenal dengan sebutan Al Maghribi (Maghrobi) karena cuci dari Syeh Jumadil Kubro. Dikisahkan, Prabu Siliwangi yang merupakan Raja dari Kerajaan Pajajaran saja, memanggil Maulana Maghrobi dengan sebutan kakek (pernahnya). Hal ini menunjukan, kalau Maulana Maghrobi itu masanya lebih tua dari Prabu Siliwangi.
Bahkan disebutkan, bahwa pada rombongan ini jumlahnya lebih banyak dari rombongan yang sebelumnya dan juga berpencar menyebar untuk menjalankan misi dakwah Islam di Jawa dan diantaranya sampai di Pekalongan. Total ada sekitar 25 orang Maulana Al Mahribi (Mahjrobi) yang makamnya terpencar dengan nama yang sama.
Di antara anggota rombongan itu, ada yang wafat satu orang, dimakamkan di pesisir Semarang, yang juga dikenal dengan nama Syekh Jumadil Kubro. Lokasinya dekat Kaligawe. Dan ada juga yang wafat di Pekalongan, nama yang pertama adalah Maulana Syarifudin Abdullah, Hasan Alwi al Quthbi. Beliau bersama rombongannya tinggal di daerah Blado, Wonobodro. Lalu ada dua orang lagi bernama Maulana Ahmad al Maghrobi dan Maulana Ibrohim Almaghrobi, tinggal di daerah Bismo. Yang di Bismo membangun masjid di Bismo, sementara yang di Wonobodro membangun masjid juga di Wonobodro.
Masih dengan Makam Auliya’ Al Maghribi, ada lagi yang di Setono (pekalongan), Maulana Abdul Rahman dan Maulana Abd Aziz Almaghrobi. Di antaranya lagi, tersebut nama Syekh Abdullah Almaghrobi Rogoselo, Sayidi Muhammad Abdussalam Kigede Penatas Angin. Adapun yang dimakamkan di Paninggaran, daerah Sawangan, Wali Tanduran, adalah termasuk generasi kedua, walaupun bukan golongan al Maghrobi. Beliau sangat gigih dalam syi’ar Islam di Paninggaran.
Jadi, sebelum sebelum Wali Songo yang masyhur seperti Sunan Ampel, Sunan Giri Sunan, Kali Jogo dan lainnya, sudah ada wali sembilan seperti Lembaga Wali Sembilan jamannya Sunan Ampel itu. Lembaga wali Sembilan ini seperti Wali Abdal, yang jumlahnya ada tujuh, jika ada yang wafat satu maka akan ada yang menggantikannya. Wafat satu, berganti dan seterusnya tidak lepas dari tujuh dan begitupula Wali Songo pun demikian.
Termasuk Kigede Penatas Angin itu Walisongo. Yang Wonobodro juga bagian dari Walisembilan, tapi tentu masuk generasi sebelum Walisongo yang masyhur itu. Ki Gede Penatas Angin adalah yang mempertahankan Pekalongan dari serangan Portugis.
Pada waktu Wali Songo, di zaman Sunan Gunung Jati, sudah ada yang masuk ke Pekalongan. Namanya Kiyai Gede Gambiran, di pesisir pantai. Tapi karena terkena erosi, sekarang Gambiran sudah tidak ada. Ada lagi Sayid Husen, di daerah Medono, dikenal sebagai makam Dowo Syarif Husen, hidup dijaman wali 9 juga, antara tahun 1590 an, sebelum masuk penjajahan Belanda.
Jadi, Al Maghrobi tersebut ada empat generasi; generasi Jamaludin al Husen, generasi Ibrohim Asmoroqondi dan generasi Malik Ibrohim, lalu generasi Sunan Ampel. Wallahu A’alam.