bspradiopekalongan.com, Artikel – Bagi keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU), nama Hoofdbestuur Nahdlatul Oelama (HBNO) tidak asing ditelinga warga, kader dan pengurus NU. Sebab HBNO yang berada di Jalan Bubutan VI/2 Alun-alun Contong, Kota Surabaya itu, merupakan Gedung bersejarah sebagai Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Pertama era Hadratus Syaikh KH. M Hasyim Sy’ari sebagai Rois Akbar.
Bangunan tua yang telah berusia lebih dari 100 tahun ini bernama Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO). Dalam bahasa Belanda, Hoofdbestuur berarti kantor utama/pusat. Hingga saat ini, tulisan Hoofdbestuur masih terpampang jelas di depan kantor yang kini menjadi kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Surabaya itu.
Sejarah Gedung HBNO
Sejarah bangunan kuno itu tidak terlepas dari bangunan-bangunan yang berada di sekitarnya. Sebelum adanya Nahdlatul Ulama, didirikan terlebih dahulu organisasi bernama Nahdlatul Wathan. Kantor organisasi itu berlokasi di sebelah utara kampung di mana kantor HBNO berada. Dan kini, bangunan Hoofdbestuur telah dinyatakan sebagai salah satu peninggalan bersejarah yang dilindungi. Walau demikian, bangunan tersebut masih difungsikan sebagai kantor PCNU Surabaya.
Dahulu, selain digunakan sebagai kantor, bangunan tersebut juga digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kependidikan dan kepesantrenan. Ada pun tujuannya adalah untuk mengajarkan nilai-nilai kebangsaan. Hingga akhirnya didirikan sekolah yang dikhususkan untuk mengkader para penerus bangsa. Sebab, kekuatan santri pada saat itu sangat diharapkan.
Banyak peristiwa penting dan bersejarah yang terjadi di tempat itu, salah satunya bangunan tersebut digunakan oleh Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari untuk dijadikan sebagai kantor djawatan Agama (Shubumu) yang berada di bawah pemerintahan Belanda.
Selain itu, Kantor HBNO juga menjadi saksi bisu musyawarah Kiai se-jawa dan Madura untuk memutuskan Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari / Nahdlatul Ulama atau seruan Jihad mewalan penjajah hukumnya wajib, terjadi di gedung HBNO itu pada 22 Oktober 1945 yang kemudian terjadi peristiwa pertempuran 10 November 1945 meletus.
Gedung Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) merupakan kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sebelum akhirnya pindah di kisaran tahun 1955. Tepatnya pasca revolusi, kantor PBNU yang awalnya berlokasi di Jalan Bubutan, kemudian berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mulai dari Pasuruan Kota, kemudian ke Pasuruan Kecamatan (Sukorejo), ke Mojokerto, Jombang, dan beberapa tempat lainnya di tanah Jawa.
Ketika situasi dan kondisi di tanah air membaik dan lebih kondusif, kantor PBNU kembali ke Bubutan. Baru setelah itu kantor PBNU berpindah ke Jakarta dengan membawa hampir semua inventaris yang berada di Hoofdbestuur.
Bangunan Kuno Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO)
Sama halnya dengan sejumlah bangunan kuno yang terdapat di Indonesia, Hoodbestuur memiliki gaya dengan nuansa bangunan Eropa. Kantor yang didirikan tahun 1909, atau kini telah berusia 114 tahun ini, ditetapkan sebagai kantor utama PBNU kala itu pada tahun 1935. Walaupun usianya cukup tua, kantor yang dibangun pada masa penjajahan ini terlihat begitu kokoh.
Di depannya terdapat Sang Saka Merah Putih dan bendera Nahdlatul Ulama yang berkibar serta monumen bersejarah Resolusi Jihad. Jika masuk sedikit lebih dalam ke Hoofdbestuur, ditemukan sebuah ruangan dengan beberapa kursi empuk dan meja di sisi kanan dan kiri. Ruangan ini digunakan untuk menjamu tamu, mengadakan diskusi dan musyawarah, serta untuk melakukan kegiatan administrasi.
Selanjutnya, terdapat ruangan yang lebih luas dari ruangan sebelumnya. Namun, pada ruangan ini tidak terdapat meja dan kursi, melainkan hamparan karpet. Di dindingnya terpajang sejumlah pigura yang memuat gambar tokoh-tokoh NU terdahulu, mulai dari K.H. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama hingga K.H. Ridwan Abdullah, pembuat logo Nahdlatul Ulama.
Selain monumen Resolusi Jihad, di dalam bangunan ini juga terdapat plakat peresmian bangunan Hoofdbestuur yang berbunyi:
“Sejak Nahdatul Ulama berdiri gedung ini telah dijadikan sebagai Kantor Pengurus Besar (Hoi Bestuur) NU pada tahun 1935. Gedung ini juga tempat diselenggarakan Konferensi Anshor NU (Pemuda Anshor NU). Pada masa revolusi gedung ini sebagai tempat dicetuskannya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 22 Oktober 1945 yang mewajibkan setiap Muslim, terutama laki-laki untuk bertempur mempertahankan dan menegakkan NKRI dari penjajah Belanda.”
Selain dua ruangan tadi, terdapat beberapa ruangan lainnya di dalam Hoofdbestuur, salah satunya adalah ruangan NU-Care LAZISNU, ruangan di mana masyarakat dapat mengenal lembaga amil zakat yang dibentuk oleh Nahdlatul Ulama. Ada pun fungsi NU-Care LAZISNU adalah untuk menyalurkan dana untuk keperluan zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Selain itu, lembaga ini juga menjadi sarana untuk membantu masyarakat, sebagaimana disampaikan pada muktamar NU ke-31 di Boyolali, Jawa Tengah.
Bangunan bersejarah ini menyimpan banyak sekali kenangan dan sejarah tentang bagaimana para pejuang berdiskusi dan menyiapkan strategi untuk memerdekakan Indonesia. Kini, Hoofdbestuur telah ditetapkan sebagai cagar budaya tipe A. Dan pada tahun 2022, PBNU sepakat untuk menjadikannya sebagai museum. (Adm-01A)