bspradiopekalongan.com, PERADABAN -Angklung adalah salah satu instrumen musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara digoyangkan. Instrumen ini bukan hanya sekadar alat musik, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat Sunda, khususnya di wilayah Jawa Barat. Dalam lintasan sejarahnya, angklung mengalami perjalanan panjang sebelum akhirnya dikodifikasi dan diakui sebagai warisan budaya takbenda, baik secara nasional maupun internasional.
Kodifikasi angklung sebagai tradisi Sunda tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari proses panjang pewarisan budaya, pencatatan ilmiah, dan pelestarian oleh masyarakat, budayawan, serta pemerintah. Kodifikasi di sini berarti upaya sistematis untuk mendokumentasikan, menstandarkan, serta menetapkan angklung sebagai representasi budaya yang sah dari masyarakat Sunda.
Asal Usul dan Fungsi Tradisional
Secara historis, angklung sudah dikenal sejak masa kerajaan Sunda kuno, seperti Kerajaan Pajajaran. Instrumen ini awalnya digunakan dalam ritual pertanian, terutama dalam upacara memohon kesuburan kepada Dewi Sri, dewi padi dalam kepercayaan masyarakat agraris. Getaran suara angklung dipercaya mampu mengundang semangat alam dan memberikan energi positif bagi hasil panen.
Angklung tidak hanya menjadi alat hiburan, tetapi juga instrumen sakral yang mengiringi berbagai upacara adat, seperti Seren Taun dan acara khitanan. Fungsinya kemudian meluas menjadi sarana pendidikan, komunikasi sosial, dan simbol gotong royong, karena angklung hanya bisa dimainkan dalam harmonisasi kelompok.
Upaya Pelestarian dan Kodifikasi
Memasuki abad ke-20, muncul kekhawatiran akan punahnya tradisi angklung di tengah arus modernisasi. Di sinilah peran penting tokoh seperti Daeng Soetigna sangat menentukan. Ia melakukan inovasi dengan mengembangkan angklung diatonis, yang memungkinkan angklung dimainkan dalam format musik Barat, sehingga menjangkau khalayak lebih luas, termasuk di sekolah-sekolah.
Kodifikasi formal dimulai ketika angklung mulai dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sebagai alat bantu pembelajaran seni musik. Hal ini diikuti dengan pendokumentasian bentuk, teknik pembuatan, sistem nada, hingga repertori lagu tradisional yang bisa dimainkan menggunakan angklung. Organisasi seperti Saung Angklung Udjo juga berperan penting dalam merumuskan standar pengajaran dan pertunjukan angklung.
Puncaknya, pada 18 November 2010, UNESCO secara resmi menetapkan angklung sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Pengakuan ini tidak hanya mengukuhkan angklung sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Sunda, tetapi juga mendorong upaya pelestarian secara global.
Simbol Identitas Budaya Sunda
Dengan kodifikasi ini, angklung bukan hanya dikenal sebagai alat musik bambu, tetapi sebagai simbol kebudayaan Sunda yang penuh nilai—kebersamaan, harmoni, dan keselarasan dengan alam. Dalam setiap getaran angklung, terdapat filosofi kolektivitas dan kerendahan hati, khas masyarakat agraris yang hidup saling bergantung satu sama lain.
Hari ini, angklung tidak hanya dimainkan di kampung-kampung Sunda, tetapi juga di panggung dunia, dari Tokyo hingga Amsterdam. Namun, kodifikasi bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggung jawab kolektif untuk menjaga keberlanjutan warisan ini agar tetap hidup di hati generasi mendatang. (Adm-03A)
