Pondok Pesantren Al-Khairiyah Citangkil: Warisan Pendidikan dan Perjuangan di BantenPondok Pesantren Al-Khairiyah Citangkil: Warisan Pendidikan dan Perjuangan di Banten

bspradiopekalongan.com, PESANTREN – Pondok Pesantren Al-Khairiyah Citangkil merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh di Banten. Didirikan pada tahun 1916 oleh Brigjen KH. Syam’un, pesantren ini tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sejarah dan Pendiri

KH. Syam’un lahir pada 5 April 1894 di Kampung Beji, Bojonegara, Serang, Banten. Beliau adalah cucu dari KH. Wasyid, tokoh perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dalam Peristiwa Geger Cilegon 1888. KH. Syam’un menimba ilmu di berbagai pesantren di Banten sebelum melanjutkan studi ke Makkah dan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Setelah kembali ke tanah air, beliau mendirikan Pesantren Al-Khairiyah di Citangkil, Cilegon, dengan tujuan mencerdaskan umat dan membangun kesadaran nasional melalui pendidikan.

Perkembangan Pendidikan

Awalnya, Al-Khairiyah mengadopsi sistem pendidikan tradisional pesantren. Namun, pada 5 Mei 1925, KH. Syam’un memperkenalkan sistem madrasah dengan metode klasikal dan memasukkan pelajaran umum ke dalam kurikulum. Langkah ini menjadikan Al-Khairiyah sebagai pelopor pendidikan Islam modern di Banten. Pesantren ini berkembang pesat dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah Belanda di wilayah Cilegon.
Pada tahun 1936, Al-Khairiyah mendirikan sekolah umum bernama HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Al-Khairiyah Citangkil sebagai alternatif pendidikan bagi rakyat pribumi. Sekolah ini tetap mempertahankan identitas keislaman meskipun mengadopsi sistem pendidikan Belanda.

Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan

KH. Syam’un tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang, beliau bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) dan menjabat sebagai Daidancho (Komandan Batalyon) di Serang. Setelah proklamasi kemerdekaan, beliau diangkat sebagai Bupati Serang dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi 1000/I untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Syam’un wafat pada 28 Februari 1949 dalam perjuangan melawan Belanda.

Transformasi dan Pengaruh

Setelah wafatnya KH. Syam’un, Al-Khairiyah terus berkembang. Pada tahun 1951, lembaga ini resmi menjadi Perguruan Islam Al-Khairiyah dan pada tahun 1956 berubah menjadi Yayasan Perguruan Islam Al-Khairiyah. Saat ini, Al-Khairiyah memiliki berbagai jenjang pendidikan, mulai dari TK hingga universitas, serta cabang-cabang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Al-Khairiyah telah melahirkan banyak tokoh penting, seperti Prof. KH. Syadzli Hasan (pendiri STAIN Serang), Prof. KH. Wahab Afif (Ketua MUI Banten), dan Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Para alumni Al-Khairiyah berperan aktif dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, politik, dan sosial-keagamaan.

Pondok Pesantren Al-Khairiyah Citangkil merupakan simbol perpaduan antara pendidikan dan perjuangan. Dengan semangat pembaruan yang diwariskan oleh KH. Syam’un, pesantren ini terus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman. Al-Khairiyah tetap menjadi mercusuar pendidikan Islam di Banten dan Indonesia, serta inspirasi bagi generasi muda untuk terus belajar dan berkontribusi bagi bangsa dan agama. (Adm-01A)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *