bspradiopekalongan.com, SEKSUAL – Istilah toxic masculinity semakin sering muncul dalam diskusi tentang gender dan peran laki-laki dalam masyarakat modern. Namun, masih banyak yang salah paham mengenai maknanya. Toxic masculinity bukanlah kritik terhadap laki-laki secara keseluruhan, melainkan penjelasan tentang norma dan perilaku maskulin yang berbahaya, merugikan diri sendiri dan orang lain. Memahami konsep ini penting untuk membangun masyarakat yang lebih sehat, inklusif, dan adil.
Apa Itu Toxic Masculinity?
Toxic masculinity merujuk pada konstruksi sosial yang mengharuskan laki-laki untuk menunjukkan sifat-sifat tertentu seperti kekerasan, dominasi, menekan emosi, dan superioritas atas perempuan atau laki-laki lain yang dianggap “lemah”. Dalam budaya yang mengagungkan toxic masculinity, laki-laki diajarkan bahwa untuk menjadi “pria sejati” mereka harus keras, tak pernah menunjukkan kelemahan, dan selalu mengontrol situasi.
Norma-norma ini sering kali menyebabkan tekanan besar pada laki-laki, yang akhirnya berdampak pada kesehatan mental dan perilaku mereka. Misalnya, laki-laki yang merasa harus menahan emosinya bisa mengalami stres, depresi, atau bahkan melakukan tindakan agresif sebagai bentuk pelampiasan.
Dampak Negatif Toxic Masculinity
Toxic masculinity tidak hanya merugikan laki-laki, tetapi juga perempuan dan masyarakat secara luas. Pada laki-laki sendiri, tekanan untuk selalu kuat dan dominan dapat menyebabkan isolasi emosional, kesulitan mencari bantuan ketika menghadapi masalah psikologis, serta kecenderungan melakukan perilaku berisiko seperti kekerasan, penyalahgunaan zat, dan perilaku agresif.
Di sisi lain, toxic masculinity juga memicu diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas gender. Sikap superioritas laki-laki yang didorong oleh norma-norma ini memicu kekerasan seksual, pelecehan, dan pembatasan kesempatan bagi perempuan di berbagai bidang kehidupan. Stereotip bahwa laki-laki harus menguasai atau mengendalikan perempuan memperkuat budaya patriarki yang mengekang kesetaraan gender.
Bagaimana Toxic Masculinity Terbentuk?
Toxic masculinity dibentuk oleh berbagai faktor budaya, sosial, dan historis. Dari kecil, anak laki-laki sering diajarkan untuk “tidak menangis”, “harus kuat”, dan “tidak boleh seperti perempuan”. Media, pendidikan, serta lingkungan keluarga dan teman sebaya juga memperkuat pesan-pesan ini. Misalnya, kartun atau film yang menampilkan pahlawan laki-laki selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan, tanpa menunjukkan sisi lembut atau empati.
Pengaruh agama dan tradisi juga kadang memperkuat pandangan bahwa laki-laki harus menjadi kepala keluarga yang otoriter dan dominan, sehingga ruang untuk ekspresi emosi atau kelemahan sangat terbatas.
Melawan Toxic Masculinity
Mengatasi toxic masculinity bukan berarti menghilangkan sifat maskulin, tetapi mengubah cara pandang dan perilaku agar laki-laki bisa mengekspresikan diri secara sehat dan autentik. Penting untuk mendorong laki-laki agar lebih terbuka terhadap perasaan mereka, belajar empati, dan menghargai kesetaraan gender.
Pendidikan sejak dini tentang kesetaraan dan kesehatan mental, peran media yang lebih positif, serta dukungan dari keluarga dan komunitas adalah kunci untuk mengurangi dampak negatif toxic masculinity. Laki-laki juga perlu diberikan ruang untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa harus merasa terjebak dalam stereotip yang membatasi.
Kesimpulan
Toxic masculinity adalah sebuah konsep yang membantu kita memahami bagaimana norma-norma maskulin yang salah dapat merusak kehidupan individu dan masyarakat. Dengan mengenali dan melawan toxic masculinity, kita bisa membangun budaya baru yang lebih inklusif, di mana laki-laki dan perempuan dapat hidup berdampingan secara harmonis, saling menghormati, dan menghargai keberagaman ekspresi gender. Ini bukan hanya soal laki-laki, tetapi soal kemanusiaan. (Adm-01A)
