bspradiopekalongan.com, Religi – Al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam memiliki sebuah perjalanan historis yang menarik. Dalam proses turunnya Al-Qur’an, ada ukiran sejarah yang cukup panjang hingga sampai kepada Nabi Muhammad. Mayoritas ulama sepakat bahwa turunnya Al-Qur’an ditempuh melalui dua fase.
Fase pertama, Al-Qur’an turun secara utuh dari Lauh Mahfudz ke langit dunia (nuzulul jumali). Sedangkan fase kedua, turun secara bertahap dari langit dunia kepada Nabi Muhammad (nuzulul mufarraq). Mengenai cara turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke langit dunia terdapat ragam pendapat di kalangan ulama. Pembahasan kali ini tidak akan menyinggung ragam pendapat tersebut melainkan akan mencoba mengungkap hikmah yang terkandung di balik dua fase tersebut.
Fase Pertama
Hikmah Fase Pertama Pada fase pertama Al-Qur’an turun dengan sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Baitul ‘Izzah atau langit dunia. Peristiwa ini terjadi di bulan Ramadan, tepatnya pada malam Lailatul Qadar. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185: Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.”
Para ulama kemudian mencoba menelusuri jejak hikmah dari fase ini. Misalnya, As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan menjelaskan, hikmah pada fase ini adalah menunjukkan tentang keistimewaan dan keagungan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Artinya: “Dikatakan rahasia turunnya Al-Qur’an dengan sekaligus ke langit dunia untuk menunjukkan agungnya Al-Qur’an dan nabi yang menerima Al-Qur’an (Nabi Muhammad).
Hal tersebut dengan cara mengabarkan kepada para penduduk langit ketujuh bahwa Al-Qur’an ini adalah kitab terakhir yang turun kepada penutup para rasul untuk disampaikan kepada umat paling mulia. Posisinya sebagai kitab terakhir dan nabi yang menerima mandat risalah tersebut juga merupakan nabi terakhir menjadikan fase ini menyimpan hikmah yang besar.
Selain itu, fase pertama ini tidak berkaitan sedikit pun dengan permasalahan hukum. Karena memang peruntukkannya pada penduduk langit bukan penduduk bumi. Artinya, tujuannya adalah menerangkan kemuliaan dan keutamaan umat Islam yang menerima kitab Al-Qur’an kepada mereka. Berbeda dengan kitab suci sebelumnya di mana penurunannya sekaligus juga disertai dengan taklif kepada umatnya.
Fase Kedua
Hikmah Fase Kedua Fase kedua, turunnya Al-Qur’an secara bertahap atau berangsur-angsur. Fase ini merupakan kelanjutan dari fase pertama. Sebelumnya, Al-Qur’an sudah berada di langit dunia kemudian dibawa oleh Malaikat Jibril untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur.
Pada fase ini, sebagian dari ayat dan surat Al-Qur’an turun sesuai dengan peristiwa yang sedang dialami oleh Nabi Muhammad. Adakalanya Nabi menerima beragam pertanyaan yang beliau sendiri belum menemukan jawabannya, ada pula Nabi mendapat ujian dan celaan dari para penentang dakwahnya sehingga turunlah ayat atau surat untuk menghibur hatinya. Ali As-Shabuni menyebutkan setidaknya ada enam hikmah dalam fase penurunan secara bertahap.
Hikmah tersebut sekaligus menjadi ciri khas yang membedakannya dengan kitab-kitab para nabi sebelumnya.
Pertama: menguatkan hati Nabi dalam menghadapi gangguan orang musyrik. Kedua: melembutkan hati Nabi ketika menerima wahyu. Ketiga: menerangkan pensyariatan hukum secara bertahap. Keempat: mempermudah menghafal Al-Qur’an dan memahaminya bagi kaum muslim. Kelima: menyesuaikan kronologi kejadian dan peristiwa, sekaligus agar hal tersebut diperhatikan. Keenam: menunjukkan bahwa Al-Qur’an bersumber dari Allah.
Hikmah terakhir, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Ilahi, bukan ucapan dari Nabi Muhammad ataupun dari makhluk yang lain. Jika dibaca dari awal hingga akhir akan didapati bahwa Al-Qur’an selalu runtut, detail dan kuat ketersambungannya. Tidak ditemukan cacat dan kekeliruan sedikit pun. Padahal ia turun kepada Nabi Muhammad dengan cara yang berangsur-angsur. Demikianlah, hikmah yang terdapat dalam dua fase turunnya Al-Qur’an. Semuanya itu dapat menyadarkan dan membangkitkan keimanan umat Islam bahwa Al-Qur’an memang merupakan kalam Allah dan memiliki keistimewaan berupa kitab suci yang tidak sama dengan kitab-kitab para nabi sebelumnya. Wallahu A’lam Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam Depok. (Adm-01A)