bspradiopekalongan.com – Al-Mar’ah Mir’âtur Rajul bahwa wanita adalah cermin laki-laki. Mengapa wanita dianggap cermin laki-laki? Mari melihat wanita (mar’ah) dalam asal bahasanya dan kaitannya dengan derevasinya (mar’ah dan mir’ah).

Beberapa kitab yang mengkaji asal “mar’ah” (wanita), di antaranya karya ‘Alla‘ Husain yang mengkaji tentang “limadza summiyat mar’ah mar’atan” (mengapa perempuan disebut mar’ah?), dan nantinya saya akan hubungkan dengan “mir’ah” (cermin), bahwa wanita itu “mir’ah” bagi laki-laki.

Mar’ah/wanita” disebut “mar’ah” karena dicipta dari “mar’i/seseorang” yaitu Hawwa‘ dicipta dari Adam. Atau Hawwa‘ diturunkan di bumi yang bertempat di Marwa, sehingga diambil dari derevasinya “Marwah”. Kemudian ‘Alla Husain melanjutkan, mengapa Hawwa’ disebut Hawwa’? Karena ia induk (umm) dari segala kehidupan, dan orang-orang Jahiliyah Arab menamakan patung-patung sesembahan mereka dengan nama wanita, karena wanitalah sumber segalanya.

Dalam beberapa Muntada, “mar’ah/wanita” disebut demikian, karena wanita suka berhias diri di depan cermin (mir’ah). Ia yang suka berhias, karena ia hiasan hidup, maka ada dalam hadits, “Ad-dunya matâ‘ wa khairu matî‘iha mar’ah shâlihah (dunia adalah hiasan, dan seindah-indahnya hiasan adalah wanita shalihah).”

Bagaimana dengan wanita adalah cermin laki-laki? Saya akan jawab dari dua sisi “cermin” dan “cerminan”.

Wanita sebagai cerminan laki-laki. Maka, untuk melihat bagaimana laki-laki, baik karakter dan akhlaknya, tinggal melihat dalam cermin: bagaimana laki-laki memperlakukan wanita, maka laki-laki terpantul kebaikan dan keburukannya. Kelembutan dan kerasnya, kerendahan hati dan keangkuhanya, optimisme dan pesimisnya, dapat dilihat cermin bagaimana laki-laki memperlakukan wanita.

Bila laki-laki sering berbuat buruk pada wanita, maka demikian dengan kehidupan laki-laki tersebut, apalagi ia melakukannya kepada istri dan anak-anak wanitanya, sebagai orang terdekatnya. Namun, jika ia memuliakan wanita, maka demikian pula karakter dan akhlaknya, sebagaimana hadits Nabi “Hanya lelaki mulia yang memuliakan wanita dan hanya lelaki pengecut yang merendahkan mereka.” Kata akhlaq itu dari khalaqa, yang memang sering dilakukan sehingga menjadi karakternya, tercipta dari kebiasaan yang sesungguhnya, bukan lisptik semata. “Orang itu baik, tapi pada keluarga kok sering berbuat jahat ya?” kata sebagian orang. Maka, tinggal kita memperhatikan bagiamana ia sesungguhnya.

Wanita sebagai cermin laki-laki. Untuk melihat laki-laki, cukuplah melihat perbuatan istrinya, terutama yang sudah lama berkeluarga, karena “mayoritas” karakter seorang suami (laki-laki) menelusup ke diri seorang istri (wanita). Maka, betapa banyak wanita baik berubah menjadi tidak baik, karena sikap seorang suami yang sering berbuat buruk kepada istrinya, seperti berlaku kasar, pemarah, pendendam, dan sifat lainnya, sehingga seiring berjalannya waktu, istrinya mengambil sifat-sifat suaminya, ikut menjadi pemarah, pendendam dan kasar pula. Bukankah orang yang sering bersama penjual parfum ia juga akan harum? Begitu pula sebaliknya. Apalagi seorang laki-laki adalah imam bagi wanita (istri).

Demikian pula dengan suatu kaum, kelompok, organisasi, negara atau apa pun, jika ingin mengetahui keadaan kaum itu, maka lihatlah wanitanya; perilakunya, karakternya, akhlaknya, maka demikianlah keadaan kaum itu. Karena kebanyakan laki-lakilah yang menciptakan itu semua.

Wanita adalah cermin, laki-laki juga bisa berkaca bagaimana keberadaan dirinya, baik dan buruknya ia tergambar dalam cermin itu. Maka wanita adalah gambaran dari diri laki-laki. Jika ia menjadi iblis, wanitanya tidak jauh berbeda, tapi jika ia menjadi malaikat, maka ia juga tidak jauh darinya. Namanya saja cermin. Maka bersyukurlah, jika diri (laki-laki) yang tidak baik, memantulkan kebaikan, karena cerminnya yang ajaib, yaitu laki-laki yang tidak baik mendapatkan wanita yang baik, sebagaimana Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa diberi istri yang shalihah, sesungguhnya ia telah diberi pertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.” (HR Thabrani dan Hakim).

Cermin itu akan memantulkan berbeda, karena cerminnya itu berbeda dari bendanya. Dan pantulan itu akan berakibat, “Perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji pula. Perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula.” (QS. An-Nur: 26). Namun, cermin itu akan memantulkan apa yang ada dalam cermin itu, maka jika dirinya ingin baik, pantulkan kebaikan pada wanita itu, ia akan menggambarkan pantulan kebaikan pula, insyallah. Allah a’lam bish shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *