Sejarah Arab Pegon Sebagai Tradisi Keilmuan Pesantren di IndonesiaSejarah Arab Pegon Sebagai Tradisi Keilmuan Pesantren di Indonesia

bspradiopekalongan.com, PESANTREN – Arab Pegon adalah salah satu bukti kekayaan tradisi intelektual Islam di Nusantara yang unik dan khas. Merupakan bentuk penyesuaian huruf Arab untuk menulis bahasa lokal, khususnya bahasa Jawa, Sunda, dan Madura, Arab Pegon tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi sarana penting dalam pengembangan ilmu, dakwah, dan kebudayaan Islam di wilayah ini.

Kata “Pegon” sendiri berasal dari bahasa Jawa “pego” yang berarti menyimpang atau tidak biasa. Istilah ini muncul karena penggunaan huruf Arab dianggap tidak lazim untuk menulis bahasa Jawa. Namun justru dari “penyimpangan” inilah lahir sebuah tradisi literasi yang kuat dan berpengaruh di dunia pesantren dan masyarakat Muslim tradisional di Nusantara.

Akar Sejarah dan Perkembangan

Tradisi Arab Pegon diperkirakan mulai berkembang sejak abad ke-15 seiring dengan meluasnya pengaruh Islam di Pulau Jawa. Para wali, khususnya Wali Songo, dipercaya sebagai pelopor penyebaran Islam menggunakan pendekatan kultural yang halus, salah satunya melalui tulisan. Dalam penyebaran Islam, mereka memahami bahwa untuk menjangkau masyarakat lokal, penggunaan bahasa daerah menjadi kunci.

Namun, karena huruf Latin belum dikenal luas dan tulisan Jawa Kawi cukup kompleks serta terbatas pada kalangan bangsawan dan keraton, para ulama menggunakan huruf Arab yang sudah akrab dari pembelajaran Al-Qur’an untuk menulis dalam bahasa Jawa. Inilah yang melahirkan Arab Pegon.

Fungsi dalam Dunia Pesantren

Dalam tradisi pesantren, Arab Pegon menjadi sarana utama untuk mencatat syarah (penjelasan) atau terjemahan kitab-kitab kuning berbahasa Arab. Santri menulis arti kata per kata atau penjelasan di antara baris-baris teks kitab dalam bahasa Jawa menggunakan huruf Arab Pegon, yang dikenal dengan metode makna gandul.

Cara ini membantu santri memahami teks Arab klasik tanpa kehilangan struktur asli teks tersebut. Sistem pembelajaran ini masih lestari hingga kini di banyak pesantren salafiyah, menjadikan Arab Pegon sebagai warisan hidup dalam pendidikan Islam tradisional.

Pengaruh Kultural dan Literasi

Lebih dari sekadar alat pendidikan, Arab Pegon juga menjadi medium sastra dan dakwah. Banyak karya sastra keislaman ditulis dalam bentuk tembang, serat, dan puisi menggunakan huruf Pegon. Misalnya, Serat Centhini dan karya-karya Syekh Ahmad Rifai atau Syekh Nawawi al-Bantani.

Melalui karya-karya tersebut, nilai-nilai Islam disampaikan secara kontekstual dengan budaya lokal. Ini membuktikan bahwa Islam yang datang ke Nusantara tidak bersifat hegemonik, melainkan bersenyawa dengan budaya lokal, dan Arab Pegon menjadi salah satu perantaranya.

Warisan yang Perlu Dijaga

Kini, penggunaan Arab Pegon mulai tergerus oleh arus modernisasi dan digitalisasi. Namun demikian, sejumlah pesantren dan akademisi terus berupaya melestarikannya. Beberapa aplikasi digital bahkan telah dibuat untuk mengenalkan kembali huruf Pegon kepada generasi muda.

Arab Pegon adalah warisan budaya dan intelektual yang mencerminkan kecerdasan lokal dalam menyerap dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Dalam konteks sejarah keilmuan Islam di Nusantara, Pegon bukan hanya media tulis, tetapi juga simbol akulturasi, kreativitas, dan perlawanan budaya terhadap penjajahan intelektual.

Melestarikan Arab Pegon berarti menjaga jati diri keilmuan Islam Nusantara—yang terbuka, toleran, dan berakar kuat pada budaya lokal. (Adm-02A)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *