bspradiopekalongan.com, FIQH – Bisnis uang digital sampai saat ini belum rampung pendefinisianya (karena perbedaan persepsi pelaku dan publik) sehingga memantik banyak pendapat positif dan negatifnya bahkan status hukumnya dalam fiqh pun mencuat (bagi sebagian) dikatakan mubah sampai haram dan sebaliknya.
Tentu diera peradaban baru dunia dengan kemajuan teknologi semua pendapat mereka tidak buta syariat, hanya saja masyarakat dilingkungan itu sudah terbiasa dengan satu pendapat madzhab fiqih, sehingga pendapat baru yang muncul akan sangat terlihat mencolok dimata mayoritas. Tidak keliru, apalagi salah ketika kita memiliki pendapat yang berbeda, tapi ketika ada yang mengatakan bahwa hanya pendapatnya saja yang benar dan yang lain salah, inilah yang menjadi akar perselisihannnya.
Jika dibiarkan terus menerus, maka sudah pasti perkara semacam ini menimbulkan gesekan yang amat berbekas diantara masyarakat, sehingga akhirnya perpecahan tidak bisa lagi dihindari. Hanya karena ada beberapa orang yang tidak paham betul dengan masalah fiqih, akhirnya persatuan yang sudah sekian lama dibangun roboh seketika, bahkan sahabat menjadi musuh yang dipandang sebelah mata.
Sebagai pribadi, agaknya kita semua perlu menjadi bijak dalam menghadapinya. Bukan perbedaannya yang dihabisi, akan tetapi pribadi kita masing-masinglah yang harus diobati agar bisa menghadapi perbedaan itu ssbagaimana para ulama sangatlah bijak dalam menghadapi perbedaan.
Satu kisah yang perlu kita semua renungkan betapa indahnya ulama sekelas Imam Syafi’i pelopor sekaligus peletak hukum sunnah mu’akkad pada qunut subuh, tidak menggunakan qunut ketika mengimami jama’ah pengikut Imam Abu Hanifah yang tidak menggunakan qunut dimasjid dekat makamnya pada saat beliau diundang oleh Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah) untuk mengajar di madrasah Abi Hanifah selepas shalat subuh berjamaah, yang memang itu jadwal rutin di madrasah tersebut.
Tentu apa yang dilakukan imam syafii bukanlah khiyanat terhadap fiqh, melainkan apa yang menjadi masalah masalah tersebut adalah masalah yang sifatnya ijtihadiy yang ulama salaf dan para imam sejak dulu memang sudah berselisih. Dan dalam perselisihan mereka tetap saling mengakui ijtihad yang lain (tidak menyalahkan), siapa yang ijtihadnya benar, ia mendapat 2 pahala, dan yang ijtihadnya salah dia mendapat satu pahala dan kesalahannya diampuni sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat, meriwayatkan qoul Imam Qatadah yang sangat masyhur di kalangan para fuqaha:
من لم يعرف الاختلاف لم يسم أنفه الفقه
“Siapa yang tidak tahu (tidak mengakui) ikhtilaf, ia sama sekali tidak bisa mencium Fiqih”
Di sini ulama fiqih sangat memperhatikan keberlangsungan hidup harmonis antar sesama, dengan tidak menyalahkan siapa yang berbeda dengan apa yang kita yakini, selama memang apa yang diyakininya itu bersandar kepada pendapat ulama lain yang juga muktamad.
Lantas, jangan sampai awam berputar pada persoalan ikhtilaf pada ranah dhonniyat yang didalamnya ada ratusan bahkan ribuan pendapat yang ittifaq namun menjadi justifikasi terhadap pendapat lain menanggalkan adab daripada ilmu. Ssbagaimana Ibnu Araby kataan dalam kitabnya Al-’Awashim min al-Qawashim :
فإن العالم لا ينضج حتى يرتفع عن العصبية المذهبية
“Sesungguhnya, seorang yang berilmu itu belum matang keilmuannya jika tidak meninggalkanfanatisme madzhabnya.”
Oleh karena itu, terhadap perbedaan pendapat mubah atau haram terhadap fenomena uang digital, crypto, bit koin dan semacamnya itu. Mati kita sikapi dengan ilmu sebagaimana para ulama dahulu. Apa yang anda yakini lakukanlah sebaik mungkin meski ada perbedaan dengan lainya begitu sebaliknya, karena yang terpenting semuanya harus disikapi dengan adab dan ilmu sebagaimana kaidah fiqih :
الخروج من الخلاف أولى و أفضل
“Keluar dari perbedaan adalah lebih utama dan lebih baik”
