KH Wahab Hasbullah : Wali Peradaban Islam di IndonesiaKH Wahab Hasbullah : Wali Peradaban Islam di Indonesia

bspradiopekalongan.com, Untold Story – Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah atau yang disebut KH Wahab Hasbullah adalah wali peradaban. Ia menjadi inisiator bagi seluruh pergerakan kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU) sejak momentum perubahan peradaban itu berlangsung. Ketika berkobar Perang Dunia Pertama, Kiai Wahab sedang berada di Makah dan merasakan betul suasana peperangan itu memengaruhi masyarakat muslim di Timur Tengah, termasuk juga Indonesia.

Sepulang dari Makah, ia mendirikan Nahdlatut Tujjar dan kemudian Nahdlatul Wathon. Setelah kekalahan Turki Utsmani pada 1918, dan kehilafahan itu akhirnya bubar pada 1923, Kiai Wahab Hasbullah mengusulkan didirikannya Nahdlatul Ulama. Gagasan ini ia bawa kepada gurunya, KH Muhammad Hasyim Asyari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.

Sejarah Kelahiran dan Menjadi Kiai

KH Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, Jawa Timur pada 31 Maret 1888. Ayahnya adalah KH Hasbulloh Said, Pendiri dan Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur. Masa kanak-kanak hingga remajanya dihabiskan di lingkungan pesantren. Sampai umur 13 tahun, Wahab kecil menimba ilmu di pesantren keluarganya. Dimulai dengan belajar membaca Al-Quran di masa kanak-kanak, kemudian beranjak mempelajari kitab-kitab kuning tingkat elementer di sekitar teologi Islam, yurisprudensi Islam (fiqih) dan ilmu-ilmu alat sebagai fondasi untuk memasuki khasanah keilmuan ulama-ulama tradisi yang terkandung di dalam kitab kuning. Salah satu kegemarannya adalah kajian sastra Arab dan bait-bait sajak Banat Su’ad dan Burdah

Kiai Wahab juga adalah seorang santri kelana, seorang santri yang tidak hanya belajar di satu pondok pesantren saja selama masa hidupnya. Pesantren pertama yang menjadi tujuan pengelanaannya adalah Pesantren Langitan di Tuban, salah satu pesantren tuan yang didirikan oleh K.H. Muhammad Nur pada 1852.  Di pesantren ini Wahab fokus memperdalam ilmu fikih melalui kitab Fathul Mu’in karya Mu’in Zaid al-Din al-Malibari .

Setelah dari sini, dia melanjutkan pengembaraan keilmuan ke Pesantren Mojosari Nganjuk untuk belajar fikih, Pesantren Cempaka meski hanya enam bulan, Pesantren Tawangsari Surabaya mempelajari fikih lanjut dengan menamatkan Al Iqna karya Khatib Syarbini dan tajwid Al-Quran. Merasa cukup dengan dasar-dasar ilmu agama, Wahab melanjutkan studinya ke Pesantren Kademangan, Madura. Di sini dia mendalami berbagai ilmu seperti nahwu, sharf, balaghah, dan mantiq terutama dari kitab Alfiyah karya Ibnu Malik . Ia juga mempelajari kitab-kitab fikih lanjutan dari mazhab Syafi’i, tauhid, dan tasawuf di Pesantren Branggahan Kediri . Setelah dari sini, Wahab nyantri di Tebuireng, sebuah pesantren terkemuka yang menelurkan banyak tokoh-tokoh agama di kemudian hari.

Makkah menjadi destinasi setelahnya bagi Wahab. Sesuai nasehat dia berangkat pada 1910 ketika usianya menginjak 27 tahun. Di masa itu, Makkah menjadi pusat transmisi keilmuan yang memperjumpakan berbagai pembelajar dari seluruh pelosok dunia. Di sana, Wahab berjumpa dengan banyak syekh dan belajar banyak dari mereka. Hal lain yang terpenting adalah Wahab masuk ke dalam komunitas Jawi––sebuah komunitas yang merujuk bukan hanya Pulau Jawa, namun wilayah-wilayah Melayu di Asia Tenggara––dan semakin memperkuat hubungan keilmuan antara Makkah dengan Islam di Nusantara.

Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Makkah untuk berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.

Membangun Peradaban Islam

Meski saat itu Wahab sedang menikmati pengembaraan ilmunya di Makkah, ia tetap mengikuti perkembangan Indonesia yang saat itu sedang berada pada masa kebangkitan menuju sebuah bangsa merdeka. Wahab, Raden Asnawi-Kudus, Abbas Jember, dan Muhammad Dahlan Kertosono mendirikan Sarekat Islam cabang Makkah (Rambe, 2020: 92). Karena itu setelah kembali ke Indonesia, pada 1914, Wahab langsung berada di tengah pusaran pergerakan. Ia lebih memilih tinggal di Surabaya yang ketika itu menjadi pusat pergerakan kebangsaan daripada kembali ke Tambakberas. Wahab menyadari bahwa gerbong pesantren harus turut terlibat dalam memperjuangkan wacana kebangsaan.

Pada 1916, Wahab bersama tokoh muda seperti Mas Mansur, Bisri Syamsuri, Abdul Halim, dan Abdullah Ubaid mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa), yang awalnya adalah sebuah sekolah bercorak modern (Anam dkk., 2014: 208). Cabang-cabang Nahdlatul Wathan segera dibuka di kota-kota lain di Jawa. Pada 1918, Wahab dan ulama senior Surabaya, K.H. Achmad Dahlan Kebondalem, membentuk kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) yang mempertemukan tokoh-tokoh modernis dan pesantren untuk mendiskusikan masalah keagamaan.

Di tahun yang sama, ia juga mendirikan koperasi dagang bersama tokoh penting yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. Koperasi ini diberi nama Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang) untuk menghimpun pedagang dan pengusaha di sekitar Surabaya, Jombang, dan Kediri. Saat itu, kiai-kiai pesantren pada umumnya adalah juga pedagang, seperti halnya Kiai Wahab dan Kiai Hasyim sendiri (Anam dkk., 2014: 208).

Ketiga organisasi yang dirintis oleh Wahab Hasbullah ini menjadi wadah penting bagi perkembangan aktivisme para santri secara umum, dan lebih khusus bagi Wahab sendiri. Tiga organisasi ini telah menjembatani pertukaran pikiran di antara ulama-ulama muda saat itu yang perannya sangat penting di kancah nasional. Selain itu, baik Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar, maupun Nahdlatul Tujjar juga terdiri dari ulama yang tidak hanya berasal dari latar belakang tradisional, tapi juga berisi ulama-ulama yang mengusung modernism Islam seperti Ahmad Dahlan, Mas Mansur, dan bahkan anggota Boedi Oetomo bernama Mangun (Haidar, 1994: 114).

Pergaulannya dengan kalangan yang luas disadari sebagai bagian dari upaya membangun persatuan umat Islam. Namun, banyak peristiwa justru sering mengabaikan kepentingan ulama pesantren. Pada Kongres Al-Islam, terutama yang terjadi di Cirebon (1922) dan Yogyakarta (1925), terdapat gesekan cukup keras antara kalangan pesantren tradisional dengan kalangan Islam modernis (Rambe, 2020: 151–56). Hal ini kemudian menimbulkan pertikaian-pertikaian yang sebetulnya bersifat khilafiyah (Fealy, 2009), tidak esensial seperti memperbincangkan ulang dasar-dasar dalam berislam seperti mematuhi rukun iman maupun rukun Islam. (Adm-01A)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *