Kerajaan Pajang Menjadi Sejarah Hebat di Nusantara, Lalu Dimanakah Kota Pajang?Kerajaan Pajang Menjadi Sejarah Hebat di Nusantara, Lalu Dimanakah Kota Pajang?

bspradiopekalongan.com, KOTA – Kota Pajang memegang peranan penting dalam sejarah perkembangan kerajaan Islam di Jawa. Meskipun eksistensinya tidak selama Majapahit atau Kesultanan Mataram, Pajang menjadi mata rantai transisi penting antara kejayaan Kesultanan Demak di pesisir utara Jawa dan berdirinya Kesultanan Mataram yang kelak menjadi kekuatan utama di pedalaman Jawa Tengah. Dalam lintasan sejarah, Kerajaan Pajang bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga pusat penyebaran Islam, pemerintahan, dan budaya Jawa.

Asal Usul dan Berdirinya Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang berdiri pada pertengahan abad ke-16, sekitar tahun 1549, setelah melemahnya Kesultanan Demak akibat konflik internal dalam keluarga kerajaan. Pendiri kerajaan ini adalah Jaka Tingkir, seorang bangsawan muda yang dikenal memiliki kekuatan spiritual dan pengaruh besar di kalangan ulama. Setelah menjadi menantu Sultan Trenggana, Jaka Tingkir memperoleh posisi penting dalam pemerintahan Demak.

Setelah wafatnya Sultan Trenggana, Demak mengalami kekacauan politik. Perebutan kekuasaan di antara keturunan dan menantu raja membuat kestabilan kerajaan terguncang. Melihat kesempatan itu, Jaka Tingkir mengambil alih kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke daerah pedalaman yang disebut Pajang, yang secara geografis terletak di wilayah yang kini menjadi bagian dari Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Sejak itu, Jaka Tingkir dikenal dengan gelar Sultan Hadiwijaya, raja pertama dari Kerajaan Pajang.

Lokasi dan Keberadaan Kota Pajang

Secara historis, pusat Kerajaan Pajang berada di kawasan yang sekarang termasuk dalam Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Letaknya berada di bagian barat daya Kota Solo, tidak jauh dari Sungai Bengawan Solo yang strategis pada masa itu. Pilihan lokasi ini sangat tepat karena selain memiliki akses air yang baik, wilayah ini juga relatif aman dari serangan musuh, karena lebih ke pedalaman dibanding Demak yang berada di pesisir.

Sampai saat ini, masyarakat sekitar masih mengenal wilayah Pajang sebagai daerah bersejarah. Di sana terdapat makam Sultan Hadiwijaya, yang sering dikunjungi oleh peziarah maupun peneliti sejarah. Selain makam, beberapa peninggalan budaya dan cerita rakyat tentang kejayaan Pajang masih dilestarikan melalui pertunjukan seni dan tradisi lokal.

Kota Pajang, yang kini menjadi bagian dari Surakarta, memiliki sejarah yang kaya dan penting dalam perjalanan politik dan budaya Jawa. Sebagai penerus Kesultanan Demak dan pendahulu Kesultanan Mataram, Pajang memainkan peran sebagai penghubung antara dua kekuatan besar dalam sejarah Islam di Jawa. Lokasinya yang strategis, peran tokohnya yang karismatik, serta kontribusinya dalam bidang pemerintahan dan budaya menjadikan Pajang sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Nusantara. Hari ini, jejak sejarah itu masih bisa dilihat dalam bentuk situs makam, nama tempat, serta warisan budaya yang hidup dalam masyarakat Surakarta dan sekitarnya.

Masa Kejayaan Kerajaan Pajang

Di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, Pajang menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat dan stabil. Ia berhasil memperluas kekuasaan hingga ke daerah-daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Pajang juga menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, serta memainkan peran penting dalam penyebaran ajaran Islam ke wilayah pedalaman Jawa.

Sultan Hadiwijaya dikenal sebagai raja yang bijaksana dan dekat dengan para ulama. Ia juga memberikan otonomi kepada beberapa daerah bawahan, termasuk wilayah Mataram yang kala itu dipimpin oleh Ki Ageng Pemanahan. Wilayah Mataram ini kelak akan menjadi inti dari kekuatan baru setelah runtuhnya Pajang.

Namun demikian, kejayaan Pajang tidak berlangsung lama. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat, kekuasaan diteruskan oleh putranya, Pangeran Benawa. Sayangnya, Pangeran Benawa tidak memiliki kekuatan politik yang cukup kuat untuk mempertahankan kestabilan kerajaan. Pada saat yang sama, Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan dan menantu Sultan Hadiwijaya), mulai memperluas pengaruh dan kekuasaannya.

Akhirnya, Mataram bangkit menjadi kekuatan baru, dan sekitar tahun 1586, Senapati Mataram (Sutawijaya) berhasil mengalahkan Pajang. Dengan kekalahan ini, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Pajang dan berdirilah Kesultanan Mataram, yang kemudian menjadi kerajaan terbesar di Pulau Jawa pada abad ke-17.

Meskipun hanya bertahan selama beberapa dekade, Kerajaan Pajang meninggalkan warisan penting dalam sejarah Jawa. Pajang menjadi simbol peralihan kekuasaan dari pesisir ke pedalaman, sekaligus meletakkan fondasi sistem pemerintahan, militer, dan budaya Islam-Jawa yang dilanjutkan oleh Mataram.

Dalam bidang budaya, Pajang turut berperan dalam melestarikan kesenian Jawa seperti gamelan, tembang, dan wayang. Dalam bidang keagamaan, Pajang menjadi tempat berkembangnya tarekat dan pengajaran Islam yang lebih sistematis. Para tokoh agama yang berperan di era Demak juga banyak yang melanjutkan perjuangannya di Pajang dan sekitarnya.

Selain itu, hubungan genealogis antara keluarga raja Pajang dan Mataram memperlihatkan kesinambungan kekuasaan, yang menegaskan bahwa meskipun Mataram menggantikan Pajang, ia tetap membawa nilai-nilai dan struktur pemerintahan yang berasal dari Pajang. (Adm-02A)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *