bspradiopekalongan.com, Artikel – Kepulauan Nusantara adalah surga untuk melakukan eksplorasi ilmiah. Para ilmuwan dari seluruh dunia pernah membuat penemuan penting di sana. Namun, mengapa nama-nama ilmuwan Indonesia itu sendiri hampir tidak pernah muncul dalam catatan sejarah ilmu pengetahuan?
Dalam buku Belenggu ilmuwan dan pengetahuan : dari Hindia Belanda sampai orde baru yang ditulis oleh Andrew Goss menganalisis zaman ke zaman kehidupan profesional para naturalis dan ahli biologi di Indonesia untuk menunjukkan apa yang terjadi pada ilmu pengetahuan ketika negara menjadi satu-satunya patron terhebat.
Belenggu Ilmu Pengetahan Zaman Kolonial
Dalam penulisan sejarah ilmu pengetahuan di Hindia Belanda, peran orang-orang pribumi kerap diabaikan. Hal ini terjadi karena masih kuatnya narasi kolonial dalam penulisan sejarah. Narasi jenis ini melihat kisah sejarah dari sudut pandang penjajah yang seringkali meminggirkan keberadaan orang-orang yang dijajah. Padahal dari beberapa sumber tertulis, orang-orang pribumi disebut memiliki pengetahuan yang mumpuni.
Salah satu bukti misalnya, Ilmuwan asal Skotlandia, Henry Ogg Forbes, yang meneliti tanaman dan hewan tropis di Hindia Belanda selama kurun waktu 1878-1883, memiliki pendapat yang serupa. Forbes dibuat terkesima oleh orang-orang Banten. Ia menemukan fakta bahwa mereka sangat cerdas dan pengamat yang mengagumkan. Di esainya “Through Bantam” yang dimuat dalam Science and Scientists in the Netherlands Indies, Forbes memuji pengetahuan orang-orang lokal yang memberi nama tanaman dan hewan lokal menyerupai sistem Eropa.
Simon Schaffer, profesor sejarah dan filsafat Ilmu Inggris, dalam The Brokered World: Go-Betweens and Global Intelligence 1770 — 1820 menyebut orang-orang seperti Oedam, Mario, dan Papa Iidan sebagai sebagai perantara (go-between) antara ilmuwan Barat dan pengetahuan lokal. Meski peran mereka penting, kelompok ini sering hilang dari narasi sejarah kolonial. Artikel ini akan menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Cengkaman Orde Baru Terhadap Ilmu Pengetahan
Ketika memasuki Orde baru di Nusantara, ilmu pengetahuan semakin terkoptasi karena salah satu penyebabnya adalah karena sejarah ilmu masih dibahas dalam perspektif Barat yang berat sebelah. Perspektif yang dominan ketika itu mengatakan bahwa orang-orang Eropa adalah pihak yang aktif memproduksi dan menyebarkan sains, sedangkan masyarakat non-Eropa hanya penerima pasif.
Melalui sokongan dana untuk membayar penelitian, para ilmuwan di Indonesia mengikuti agenda negara yang terutama dipusatkan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya yang paling berharga–terutama tanaman pangan ekspor: kina, gula, kopi, teh, karet, dan nila. Hasilnya adalah satu kelas birokrat botani, yang Goss juluki sebagai ‘floracrats’.
Dengan menggunakan arsip-arsip dan sejarah lisan, Goss menunjukkan bagaimana para ilmuwan ini berusaha mewujudkan cita-cita Aufklarung alias Pencerahan dari ilmu pengetahuan yang objektif, universal, dan berguna, bahkan ketika mereka mengkhianati cita-cita tersebut karena gagal membagi pengetahuan sains kepada masyarakat umum.
Dalam setiap bab, Goss memerinci fase kekuatan dan karakter ilmuwan di Indonesia yang telah berjuang dengan dilema ini, sejak awal era kolonial, melewati kemerdekaan, hingga negara Indonesia modern. Goss menunjukkan betapa kemerdekaan hanya berpengaruh terbatas bagi komunitas ilmuwan, tidak peduli betapa idealisnya, ilmuwan tetap berpatron pada negara.
Memang benar bahwa ilmu pengetahuan adalah alat negara, tetapi negara telah membatasi proses penyerapan ilmu pengetahuan, dan akhirnya gagal untuk memimpin masyarakat, tak mampu berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan negara. Ilmu pengetahuan masih menjadi urusan bagi segelintir kaum elite yang memang memiliki minat dan bakat. (Adm-01A)