bspradiopekalongan.com, FIKIH – Puasa merupakan salah satu rukun Islam. Sehingga Kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan harus dilaksanakan oleh setiap insan yang beriman dan memenuhi syarat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Kewajiban puasa sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas harus dijaga dengan benar dari segala hal dan perkara yang dapat membatalkannya. Karena bagi setiap muslim yang telah disyariatkan untuk menunaikan ibadah puasa Ramadhan dan haram hukumnya untuk tidak menunaikan puasa, kecuali pada orang-orang tertentu yang memiliki udzur syar’i (alasan yang diperbolehkan syariat). Itupun kepada mendapatkan kewajiban untuk menggantinya dihari lain.
Syaikh Nawawi Banten dalam Kitabnya Kasyifatus Saja’ menjelaskan orang-orang yang diizinkan untuk meninggalkan puasa menurut syara‘ (fikih) yaitu :
يباح الفطر في رمضان لستة للمسافر والمريض والشيخ الهرم أي الكبير الضعيف والحامل ولو من زنا أو شبهة ولو بغير آدمي حيث كان معصوما والعطشان أي حيث لحقه مشقة شديدة لا تحتمل عادة عند الزيادي أو تبيح التيمم عند الرملي ومثله الجائع وللمرضعة ولو مستأجرة أو متبرعة ولو لغير آدمي
Artinya: “Enam orang berikut ini diperbolehkan berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan. Mereka adalah pertama musafir, kedua orang sakit, ketiga orang jompo (tua yang tak berdaya), keempat wanita hamil (sekalipun hamil karena zina atau jimak syubhat). Kelima orang yang tercekik haus (sekira kesulitan besar menimpanya dengan catatan yang tak tertanggungkan pada lazimnya menurut Az-Zayadi, sebuah kesulitan yang membolehkan orang bertayamum menurut Ar-Romli) serupa dengan orang yang tercekik haus ialah orang yang tingkat laparnya tidak terperikan, dan keenam wanita menyusui baik diberikan upah atau suka rela.”
Kebijakan terhadap enam orang terebut merupakan rukhsoh (dispensasi) berupa kebolehan untuk tidak membatalkan dan menjalakan puasa seusai dengan ketentuan syariat untuk mengganti puasa yang telah ia tinggalkan di lain waktu (di luar bulan Ramadhan). Sebagaimana Allah Swt nyatakan dalam Al Qur’an Surat Al Baqaroh ayat 184:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya : “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”
Berkaitan dengan bagaimana cara untuk mengqhodo’ puasa yang ditinggalak seseorang, maka yang paling afdhol (utama) yaitu bersegera mengqhodo’ secepat mungkin. Namun tetap ada kelonggaran untuk melakukan muwassa’un (mengganti dihari-hari lainya) dengan syarat tidak sampai kepada Ramadhan selanjutnya.
Sebab jika menund-nunda waktu yang telah diberikan untuk melakukan qhodo’ puasa sampai pada Ramadhan selanjutnya, maka akan ada sanksi yang telah ditentukan yaitu membayar fidyah untuk setiap hutang puas yang dimiliki. Hanya ada toleransi bagi orang yang memang menderita sakit parah berkelanjutan yang tidak memungkinkan berpuasa, masih ada keringanan untuk menunda puasa. Atau yang lebih sederhana seorang gagal mengganti puasanya dikarenakan menyusui maka denda fidyah tidak mengenainya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al Mawardi dalam Kitabnya Hawi Kabir.
إذا أفطر أياما من شهر رمضان لعذر أو غيره ، فالأولى به أن يبادر بالقضاء وذلك موسع له ما لم يدخل رمضان ثان ، فإن دخل عليه شهر رمضان ثان صامه عن الفرض ، لا عن القضاء فإذا أكمل صومه قضى ما عليه ثم ينظر في حاله ، فإن كان أخر القضاء لعذر دام به من مرض أو سفر ، فلا كفارة عليه ، وإن أخره غير معذور فعليه مع القضاء الكفارة عن كل يوم بمد من طعام ، وهو إجماع الصحابة
Artinya : “Ketika seseorang membatalkan puasa bulan Ramadhan beberapa hari karena faktor uzur atau hal yang lain, maka hal yang utama baginya adalah segera mengqadha’i puasanya. Mengqadha’ ini bersifat muwassa’ (luas/panjang) selama tidak sampai masuk Ramadhan selanjutnya. Jika sampai masuk waktu Ramadhan selanjutnya maka ia berpuasa fardhu, bukan puasa qadha. Ketika puasa Ramadhan pada tahun tersebut telah sempurna, baru ia mengqadha puasanya yang lalu dan dilihat keadaannya: jika ia mengakhirkan qadha karena ada uzur yang terus-menerus berupa sakit atau perjalanan maka tidak wajib kafarat baginya. Jika ia mengakhirkan qadha tanpa adanya uzur maka wajib baginya untuk mengqadha puasa sekaligus membayar kafarat pada setiap hari (yang belum diqadha) senilai satu mud makanan, hal ini telah menjadi konsensus para sahabat.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, apabila seseorang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan lantas ia akhirkan sampai menjumpai Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur jelas baginya berkewajiban untuk meng-qodho’i puasa yang ia tinggalkan besertaan dengan membbayar kafarah berupa fidyah satu mud tiap harinya. Yang mana dalam hal ini fidyah yang harus dibayarkan adalah berupa bahan makanan pokok sebanyak satu mud atau dalam konteks Indonesia berarti beras sebanyak 0,6kg yang kemudian dialokasikan kepada para fakir miskin. Wallahu a’lam bisshawab.
