bspradiopekalongan.com, PESANTREN – Pesantren Tebuireng memiliki peran yang sangat signifikan, sejak awal berdirinya hingga sekarang. Peran itu dimulai dari perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, perjuangan menyebarkan ajaran agama dan mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan ekonomi masyarakat dan penguatan civil society.
Banyaknya kader-kader terbaik bangsa yang lahir dari lembaga ini, juga merupakan bukti bahwa Pesantren Tebuireng tidak pernah lelah berjuang. Peran vital itu semakin dikukuhkan dengan keikutsertaan para pengasuh dan alumninya dalam percaturan politik nasional.
Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Keduanya juga merupakan tokoh pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Salah seorang keturunan Kiai Hasyim, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjadi presiden keempat Republik Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan kiranya bila sebagian masyarakat menyebut Tebuireng sebagai ”Pesantren Perjuangan”.
Sejarah Berdirinya Pesantren
Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama pedukuhan seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh Kiai Hasyim.
Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing (terutama pabrik gula). Bila dilihat dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Akan tetapi secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi.Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang amat jauh dari nilai-nilai agama.
Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M.), Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa: tratak), berukuran 6 X 8 meter.[2] Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu santrinya berjumlah 8 orang,[3] dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Pengaruh Pondok Pesantren Tebuireng
Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para santripun sering diteror. Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berupa pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak. Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan, karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar pondok, dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.
Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktifitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menamui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.
Selain dikenal memiliki ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, dan produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang amat dibutuhkan masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Ketika seorang anak majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda, sakit parah dan kritis, kemudian dimintakan air do’a kepada Kiai Hasyim, anak tersebut pun sembuh.
Dengan tumbuhnya pengakuan masyarakat, para santri yang datang berguru kepada Kiai Hasyim bertambah banyak dan datang dari berbagai daerah baik di Jawa maupun Madura. Bermula dari 28 orang santri pada tahun 1899, kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan 10 tahun berikutnya melonjak menjadi 2000-an orang, sebagian di antaranya berasal dari Malaysia dan Singapura. Pembangunan dan perluasan pondok pun ditingkatkan, termasuk peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning.
Kiai Hasyim mendidik santri dengan sabar dan telaten. Beliau memusatkan perhatiannya pada usaha mendidik santri sampai sempurna menyeleseaikan pelajarannya, untuk kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Beliau juga ikut aktif membantu pendirian pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya, seperti Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah), Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri), Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Nurul Jadid (Paiton Probolinggo), dan lain sebagainya.
Peran Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari
KH Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama besar yang lahir pada tahun 1875 di Jombang. Beliau adalah putra dari pasangan Haji Asy’ari dan Nyai Hasyim, yang juga merupakan keluarga yang terlibat dalam dunia pendidikan agama. Sejak muda, KH Hasyim Asy’ari sudah dikenal sebagai sosok yang memiliki ilmu agama yang luas dan kepribadian yang kuat.
Pada tahun 1910, KH Hasyim Asy’ari mengambil peran penting dalam Pondok Pesantren Tebuireng, setelah sebelumnya beliau mendalami ilmu agama di berbagai pesantren terkemuka di Jawa Timur. KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai tokoh yang mampu mengembangkan pesantren ini menjadi lebih maju. Beliau memperkenalkan kurikulum yang lebih modern, menggabungkan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum untuk mempersiapkan santri menjadi pemimpin yang cerdas dan berwawasan luas.
Selain itu, KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan pendidikan dan hak-hak umat Islam di Indonesia. Beliau mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926, sebuah organisasi yang berperan penting dalam melawan penjajahan Belanda dan memajukan Islam di Indonesia. NU, sebagai organisasi yang berbasis di pesantren-pesantren, menjadikan Pondok Pesantren Tebuireng sebagai salah satu pusat pendidikan dan dakwah yang besar.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Pondok Pesantren Tebuireng memiliki peran yang sangat besar. KH Hasyim Asy’ari, melalui NU dan pesantren Tebuireng, menggalang semangat perjuangan melawan penjajah. Salah satu momen penting dalam sejarah pesantren ini adalah ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada tahun 1944, yang menyerukan umat Islam untuk berperang melawan penjajahan Jepang dan Belanda.
Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari menjadi titik balik penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, karena menggerakkan ribuan santri dan masyarakat untuk berperang melawan penjajah. Banyak santri dari Pondok Pesantren Tebuireng yang turut berjuang dalam pertempuran, memberikan kontribusi besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setelah KH Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947, Pondok Pesantren Tebuireng terus berkembang di bawah kepemimpinan putra beliau, Kiai Haji Wahid Hasyim, dan kemudian diteruskan oleh cucunya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur menjadi tokoh penting dalam mengembangkan pesantren ini dengan membuka wawasan baru dalam pendidikan, seperti menekankan toleransi antarumat beragama dan pluralisme.
Pondok Pesantren Tebuireng, yang diwarisi oleh generasi penerus keluarga Hasyim Asy’ari, terus menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terkemuka di Indonesia. Pesantren ini tidak hanya mencetak para santri yang menguasai ilmu agama, tetapi juga berperan dalam menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa yang moderat, toleran, dan siap menghadapi tantangan zaman.
Pondok Pesantren Tebuireng adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang sangat bersejarah di Indonesia, berkat peran besar KH Hasyim Asy’ari dalam mengembangkan pesantren ini. Dengan semangat dakwah, pendidikan, dan perjuangan kemerdekaan, pesantren ini terus berkembang dan memberikan kontribusi besar dalam mencetak generasi penerus yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu berperan aktif dalam membangun masyarakat dan negara. Warisan KH Hasyim Asy’ari dan Pondok Pesantren Tebuireng tetap hidup dan terus memberikan inspirasi bagi umat Islam di Indonesia. (Adm-03A)
