bspradiopekalongan.com, Religi – Dalam fakta kehidupan masyarakat kita, terdapat akar sejarah yang panjang mengenai dominasi laki-laki atas perempuan, dalam sebagian besar sektor yang dibangun atas dasar tatanan yang timpang, yaitu ketika laki-laki ditempatkan sebagai pihak superior (kuat) di hadapan perempuan yang dipandang inferior (lemah) selama berabad-abad. Tatanan ini cukup mapan dan dianggap sesuatu yang alamiah, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Hal ini dapat dipahami karena pemapanan struktural ini dikemas sedemikian rupa.
Gender pada dasarnya ialah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin (seks) merupakan kodrat Tuhan sehingga secara permanen dan universal berbeda. Sementara, gender ialah perbedaan antara laki- laki dan perempuan yang didasarkan atas konstruksi sosial.
Perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ciptaan Tuhan, melainkan yang diciptakan, baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan, melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan, selain menyangkut perkara biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial budaya ini. Oleh karena itu, gender selalu berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas. Sementara, jenis kelamin (seks) tidak akan pernah berubah.
Perempuan dalam Strata Sosial
Perbedaan gender yang kemudian melahirkan peran gender sebenarnya tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi, yang menjadi persoalan ialah bahwa peran gender tradisional perempuan (perawat, pengasuh, pendidik dan sebagainya) dinilai lebih rendah dibandingkan peran gender laki-laki. Selain itu, perbedaan peran gender ternyata juga menimbulkan masalah yang perlu digugat, yakni ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran dan perbedaan- perbedaan gender tersebut. Ketidakadilan tersebut (seperti telah banyak diuraikan para pakar) meliputi marginalisasi (pemiskinan ekonomi), subordinasi, stereotype (pelabelan negatif), kekerasan (violence), dan beban ganda.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan secara dialektika saling memengaruhi. Ketidakadilan tersebut tersosialisasi, baik kepada laki- laki maupun perempuan secara struktur, yang pada akhirnya menyebabkan laki-laki dan perempuan menjadi terbiasa dan percaya bahwa peran gender itu seakan- akan merupakan kodrat Tuhan, yang dapat diterima dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak harus dikoreksi.
Inilah fakta sosial dalam masyarakat, kesejajaran laki-laki dan perempuan cukup lemah. Penilaian yang bias terhadap perempuan tersebut pada dasarnya juga berawal dari tiga buah asumsi dasar tentang keyakinan dalam beragama. Pertama, asumsi dogmatis yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai pelengkap. Kedua, dogma bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah. Ketiga, pandangan materialistik, ideologi masyarakat Makkah pra-Islam yang memandang rendah peran perempuan dalam proses produksi.
Di sisi lain, Islam sesungguhnya secara ideal-normatif tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, apalagi mendiskriminasikan perempuan. Bahkan, sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), Islam menempatkan pengangkatan derajat dan posisi perempuan sebagai bukti keutamaannya. Perempuan yang pada masa jahiliah tidak dihargai, dengan kedatangan Islam, ia mendapatkan tempat terhormat, memperoleh pendidikan, dan terbukanya kesempatan yang lebih luas untuk aktualisasi dan pengembangan diri. (Adm-01A)
Disarikan dalam Buku FIQH Perempuan KH Husein Muhammad