bspradiopekalongan.com, TOKOH NU – Kiai Umar, ayahnya menjadi laskar Diponegoro. Setelah sang pangeran ditangkap, dia mengubah taktik: dari konfrontatif ke edukatif dengan memperkuat pendidikan agama kaum jelata. Kemudian, Kiai Umar membawa putranya, Soleh, berangkat ke Haramain. Di Makkah, Soleh muda belajar dengan giat. Dia berguru ke banyak ulama, antara lain Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad bin Sulaiman Hasbullah, Syaikh Ahmad an-Nakhrawi al-Mishri al-Makki, Syaikh Muhammad Shaleh Zawawi, Syaikh Yusuf as-Sunbulawi al-Mishri, Syaikh Abdusshomad al-Falimbani, Syaikh Jamal al-Hanafi, dll.
Sepulang dari Haramain, Kiai Soleh mengajar di beberapa pesantren sebelum kemudian mengembangkan pesantrennya sendiri di Desa Darat, Semarang. Di pesantren ini beliau mengkader para santri yang kelak menjadi poros ulama Nusantara.
KH. M. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KHR. Asnawi Kudus, KH. Ridlwan Mujahid, KH. Abdussyakur bin Muhsin (ayah Kiai Abu Fadhol Senori Tuban), KH. Dahlan Tremas (yang kelak diambil menantu Kiai Soleh Darat), KH. Idris Jamsaren, adalah di antara para murid Kiai Soleh Darat. Termasuk RA. Kartini yang juga mengaji kepada beliau.
Di antara keistimewaan Kiai Soleh adalah penguasaanya yang mendalam atas berbagai karya Imam al-Ghazali. Berbagai kitab karyanya banyak merujuk pada dua karya Imam al-Ghazali seperti Ihya Ulumiddin dan Minhajul Abidin.
Tak heran jika beliau dijuluki “al-Ghazali Kecil” sebelum kemudian gelar ini juga dinisbatkan kepada Kiai Ihsan Jampes, yang hidup beberapa periode setelah kewafatan Kiai Soleh.
Melalui buku ini, dapat diketahui untuk menelusuri keteladanan Kiai Soleh Darat sebagai mahaguru Ulama Nusantara sekaligus juga melakukan pemetaan berbagai jejaring keilmuan beliau. Penulis merekonstruksi jaringan keilmuan Kiai Soleh melalui penelusuran Jaringan Semarang, Jaringan Dahlan al-Makki, Jaringan ulama Haramain, hingga jejaring yang terbentang melalui kiprah para muassis NU dan Muhammadiyah.
Begitu kuatnya pengaruh Kiai Soleh Darat, Syaikh Mahfudz Attarmasi ketika sudah belajar di Makkah diminta kembali ke Nusantara oleh ayahnya, Kiai Abdullah, semata-mata agar berguru secara khusus ke Kiai Soleh. Di sini, Syaikh Mahfudz mengkhatamkan Tafsir Jalalain dan khatam sebanyak dua kali kemudian melanjutkannya dengan belajar Syarh Hikam karya As-Syarqawi yang juga diselesaikan sebanyak dua kali. Berikutnya, kepada kiai yang bersahaja ini, Syaikh Mahfudz menyelesaikan kajian atas Wasilat at-Thullab dan Syarh al-Maridini.
Setelah selesai, Syaikh Mahfudz kembali ke Makkah dan di kemudian hari menjadi guru para ulama Nusantara dan menjadi matarantai terpenting dalam bidang hadits. Setidaknya, pengaruh kuat Kiai Soleh Darat ini bisa kita lihat dalam “tsabat” yang ditulis oleh Syaikh Mahfudz Attarmasi, Kifayat al-Mustafid.
Dalam uraian lainnya di kitab al-Wafi Bidzaili Tadzkati al-Mashafi, Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani juga menyatakan apabila transmisi keilmuan di bidang hadis melalui kitab Shahih Bukhari juga bersambung kepada Kiai Soleh melalui dua jalur, yaitu Kiai Abdul Muhith bin Kiai Ya’qub Siwalanpanji Sidoarjo (kakak ipar Kiai Hasyim Asyari), dan dari ulama berusia panjang Sayyid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani. Kedua ulama ini meriwayatkan Shahih Bukhari dari Kiai Umar bin Kiai Soleh as-Samarani yang hijrah dan tinggal di Makkah. Ia meriwayatkannya dari ayahnya, yaitu Kiai Soleh (Darat) bin Umar As-Samarani yang meriwayatkannya dari ulama berumur panjang, Syaikh Abdusshamad al-Falimbani.
Melalui karya ini, Mas Amirul Ulum kembali menyajikan riwayat berharga seputar Ulama Nusantara selain karya terbaru lainnya, yaitu biografi Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani. Tidak membaca (dan tidak MEMBELI qiqiqiqi) swlah satu biografi ulama Nusantara ini, bagi saya, merupakan bentuk ketidakmauan menjelajahi kiprah para ulama Nusantara.
Oleh: Rijal Mumazziq
