KH Husein Muhammad, Pertentangan Laki-laki dan PerempuanKH Husein Muhammad, Pertentangan Laki-laki dan Perempuan

bspradiopekalongan.com, Muslimah Vibe – Diera kontemporer dengan kemajuan teknologi sekarang ini, masih terjadi sekat agama dengan kehidupan secara liar dan jauh dari proporsional. Salah satunya adalah diskursus antara laki-laki dan perempuan.

Pertanyaan yang muncul diantaranya, Apakah agama, khususnya Islam, ikut terlibat dalam diskursus diskriminatif antara laki-laki dan perempuan? Apakah Islam mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar, khususnya menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, hingga politik, atau justru sebaliknya? Bagaimana sebetulnya Islam memandang relasi antara laki-laki dan perempuan?

Sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar ceramah bernada diskriminatif terhadap perempuan, misalnya seperti perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, perempuan (istri) yang baik atau ideal adalah mereka yang menurut, tidak suka protes, menerima saja tanpa peduli suaminya benar atau salah, hingga kodrat dari perempuan terbatas pada urusan ‘kasur’, ’sumur’, dan ‘dapur’. Jika Islam adalah agama yang menjunjung tinggi perempuan dan nilai-nilai kesetaraan, lantas mengapa hal-hal yang diajarkan oleh kebanyakan pemuka agama ini justru bertentangan? Bagaimana pandangan KH. Husein Muhammad, seorang Kyai feminis mengenai persoalan ini?

Husein Muhammad (Buya Husein) adalah salah satu pendukung utama feminisme Islam di Indonesia (Rahman, 2017). Ia merupakan lulusan dari Universitas Al-Azhar, Kairo dan pemimpin pesantren Dar al-Tauhid di Arjawinangun, Cirebon. Meski tumbuh besar dalam keluarga serta lingkungan pesantren yang konservatif, Buya Husein memiliki kesadaran akan adanya subordinasi terhadap perempuan. Lewat berbagai artikel, buku tentang perempuan, kegiatan aktivisme, hingga terlibat dalam perumusan kebijakan, Buya Husein berupaya untuk menghilangkan subordinasi terhadap kaum hawa tersebut. Seperti yang dikemukakan Nina Nurmila (2009), kriteria utama dari seorang feminis adalah memiliki ‘kesadaran’ dari penindasan dan subordinasi yang ada (terhadap perempuan karena jenis kelaminnya) dan mengambil ‘tindakan’ untuk menghilangkan serta mengubah penindasan tersebut.

Jawaban inti dari rentetan pertanyaan di atas adalah ‘tafsir’. Dalam memandang laki-laki dan perempuan, prinsip dasar Al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter. Buya Husein menyadari salah satu masalah, yang bukan akar tunggal dari masalah ketidaksetaraan gender, adalah penafsiran Al-Qur’an dan hadits yang bias laki-laki. Penafsiran ini menjadi norma yang diulang-ulang, dikonstruksikan ke dalam sebuah sistem (sistem pendidikan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan), kemudian lambat laun memiliki nilai sakral (Wawancara pribadi dengan Buya Husein, 18 Agustus 2022).

Para pemikir feminis pun demikian mengungkapkan bahwa ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, di samping karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak kepada laki-laki, bisa jadi juga dijustifikasi oleh pemikir kaum agamawan (KH. Husein, 2019). Oleh karenanya, yang diupayakan oleh Buya Husein adalah menelaah secara kritis tafsir Al-Qur’an yang lebih tua dan fiqh, serta memberikan interpretasi baru yang lebih selaras dengan kesetaraan gender. Buya Husein menentang kesakralan dan finalitas dalam tradisi Islam.

Buya Husein mengatakan ada banyak tafsir dari pemikir Fiqh Islam yang mengatakan bahwa laki-laki adalah syarat untuk seorang imam/kepala negara. Argumen untuk persoalan tersebut mengacu pada ayat Al-Qur’an surah An-Nisaa’ ayat 34. Laki-laki adalah Qawwam atas perempuan, dikarenakan Allah SWT telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka. Para ahli tafsir mengatakan bahwa qawwam ini berarti pemimpin, pelindung, penanggungjawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain yang semakna. Selajutnya, mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan sehingga layak menjadi pemimpin ialah karena keunggulan akal, kemampuan berpikir ketegasan, tekad yang kuat, kekuatan fisik, kemampuan menulis, keberanian, dan lain-lain.

Masyarakat dengan kultur Islam yang Progresif: Keharusan dan Tantangan

Dari satu topik pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa sebagai seorang muslim yang beriman, Buya Husein mempercayai bahwa Al-Qur’an adalah sesuatu yang mutlak, tetapi di sisi lain penafsiran Al-Qur’an adalah relatif. Itulah alasannya beliau menyalahkan ketidaksetaraan gender yang terus berlanjut dalam Islam salah satunya karena intrepertasi ayat yang bias budaya patriarki, dan bukan pada Al-Qur’an itu sendiri. Buya Husein tidak dapat diklasifikasikan sebagai kelompok tradisionalis atau neo-tradisionalis karena keteguhannya pada pendekatan egaliter dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan tradisi Islam. Rahman (2017) mengkategorikan beliau ke dalam sisi progresif karena tidak bisa menyimpang dari tradisi Islam, seperti yang dilakukan oleh kelompok keempat yaitu reformis.

Perbedaan antara pendekatan progresif dan reformis adalah yang pertama (progresif) lebih menyukai pandangan dunia egaliter dengan menggabungkannya dengan tradisi Islam dan mempertahankan otoritas dalam arus utama agama. Sementara yang terakhir, reformis, menolak tradisi apapun untuk mempertahankan pandangan yang egaliter. (Adm-01A)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *