bspradiopekalongan.com, Religi – Hari raya Idul Adha bagi Umat Islam tidak dapat dipisahkan dengan Ibadah Kurban dengan menyembelih hewan kurban seperti Kambing dan sapi yang kemudian dagingnya dihadiahkan kepada saudara yang membutuhkan.
Kesunnahan berkurban itu, berkaitan dengan sejarah Nabi Ibrahim AS yang diuji keimanannya oleh Allah untuk melepaskan sesuatu yang paling ia cintai di dunia ini, yakni dengan menyembelih putranya sebagaimana tertulis dalam Al Quran Ash Shafat 102:
“Ketika anak itu memasuki usia dewasa, sudah berkembang, sudah bisa bepergian dan berjalan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada anaknya: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? Isma‘il anak Ibrahim menjawab: Wahai bapakku, lakukanlah apa yang diperintah (Allah) kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku bagian dari orang-orang yang sabar” (QS Ash Shafat 102).
Turunya Wahyu Kepada Nabi Ibrahim AS
Pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS mendapatkan wahyu melalui mimpinya bahwa Allah memerintahkan kepadanya untuk menyembelih anak yang paling ia sayangi. Nabi Ibrahim merenung panjang, “Haruskah ia mengikuti perintah Tuhannya untuk melepaskan hal yang paling ia sayangi, hal yang paling ia sukai? Apakah mimpi ini benar dari Allah atau bukan?” Nabi Ibrahim sangat sedih dalam permenungan yang sangat panjang itu. Karenanya, pada tanggal 8 Dzulhijjah yang kita semua disunnahkan untuk berpuasa disebut dengan hari “tarwiyah” yang berarti “hari merenung”, yakni hari di mana Nabi Ibrahim AS melakukan permenungan panjang atas mimpinya.
Kegalauan Nabi Ibrahim AS mendapatkan jawabannya pada malam hari berikutnya, yakni pada malam hari 9 Dzulhijjah, bahwa ia benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya yang bernama Isma‘il. Karenanya, tanggal 9 Dzulhijjah yang kita semua, umat Islam disunnahkan berpuasa disebut dengan “hari ‘Arafah” yang berarti “pengetahuan”, yakni hari di mana Nabi Ibrahim AS mendapatkan jawaban atau pengetahuan atas perintah Allah yang ia ragukan sebelumnya.
Dengan dasar ketaatan kepada Allah yang sangat tulus, dengan latar belakang rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan segalanya, Nabi Ibrahim AS benar-benar mantap dan bertekad akan menjalankan perintah-Nya, yaitu menyembelih Isma‘il, orang yang paling ia sayangi.
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim AS saat itu. Seorang ayah yang sudah lama sekali menanti memiliki keturunan, namun ketika dikaruniai anak melalui pernikahannya dengan Dewi Hajar, anak yang beliau impi-impikan itu harus disembelih dengan tangannya sendiri, padahal Nabi Ibrahim AS memiliki anak ketika usianya sudah sangat sepuh, yakni 86 tahun.
Kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana dialog Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan istrinya ketika meminta izin untuk menjalankan perintah Allah, yakni menyembelih anaknya. Sudah pasti perasaan keduanya hancur karena harus melepas kesayangannya. Perasaan keduanya gundah dan berkeping-keping karena orang yang paling ia sayangi akan mati di tangannya. Tapi, rupanya cinta Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya kepada Allah SWT melebihi segala-galanya. Demi mengikuti perintah Allah, keduanya rela melepaskan orang yang paling dicintai.
Begitu juga, kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan suami istri itu ketika meminta izin kepada anaknya yang akan dikorbankan, yakni Isma‘il AS. Tapi Isma‘il sendiri justru menguatkan tekad ayah dan ibundanya untuk menunaikan perintah Allah SWT
Setelah Nabi Ibrahim AS dan Isma‘il, anak yang akan dikurbankannya itu sampai di tempat yang diperintahkan (menurut Ubaid bin Umair di tempat yang di kemudian hari disebut “Maqâm Ibrahim”; menurut Mujâhid, di Mina), tiba-tiba Allah memberikan wahyu untuk menggantinya dengan kambing.
Atas dasar cinta kepada Allah yang melebihi segala-galanya, keluarga Nabi Ibrahim menjadi keluarga yang terberkati. Nabi Ibrahim diberi gelar “khalîlullah” atau kekasih Allah, dan dari keluarga ini lahirlah keturunan-keturunan para nabi seperti Nabi Ishâq, Nabi Ya‘qûb, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW.
Hikmah dari Kisah Nabi Ibrahim AS
Peristiwa Nabi Ibrahim yang sangat mendebarkan hati ini, bukan semata-mata arsip sejarah yang perlu dikenang jika dibutuhkan, tapi kisah ini memiliki makna, ‘ibrah atau pelajaran yang perlu diambil dan diperhatikan bagi seluruh umat manusia. Kisah Nabi Ibrahim AS adalah simbol pengorbanan di dalam beragama.
Di antara pelajaran itu, pertama, beriman atau beragama pada dasarnya melawan hawa nafsu atau kesenangan yang ada di dalam diri kita masing-masing. Setiap manusia cenderung mengikuti keinginan nafsunya, yakni ingin melakukan hal yang enak, menikmati segala kesenangan tanpa batas, merasakan segala keindahan dan yang lainnya tanpa mempedulikan hal tersebut menyakiti, merugikan atau membahayakan diri sendiri maupun orang lain atau tidak.
Di sinilah agama hadir memberikan seperangkat aturan, yakni mengatur perbuatan ini haram dan perbuatan itu halal, tindakan ini boleh dan tindakan itu tidak boleh, hal ini baik dan hal itu buruk, dan seterusnya. Dengan demikian masing-masing dari orang yang beragama seharusnya mematuhi aturan agama, bukan mengikuti kesenangan atau kehendak nafsunya. Dalam kisah Nabi Ibrahim, kenikmatan tertinggi disimbolkan dengan memiliki anak, tapi Nabi Ibrahim berhasil mengalahkan hawa nafsu kecintaan kepada putranya dengan mengikuti perintah Allah SWT.
Pelajaran atau ‘ibrah yang kedua dari kisah Nabi Ibrahim AS di atas yaitu penegasan bahwa hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, dalam hal ini hak hidup. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya bertujuan untuk menguji keimanannya atau ibtilâ` (إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ), sehingga ketika beliau tulus hendak menunaikannya, Allah SWT mengganti objek sesembelihannya dengan binatang. Penggantian “objek kurban” dari manusia ke binatang mengandung makna bahwa manusia memiliki hak untuk hidup yang seorang pun atas nama apa saja tidak boleh menghilangkannya.
Ajaran menjunjung tinggi kemanusiaan dalam agama Ibrahim pada masa itu benar-benar sangat langka mengingat ada banyak kepercayaan suku yang melakukan persembahan kepada “tuhannya” atau qurbân dengan menggunakan darah manusia, sementara ajaran agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang kemudian diteruskan Nabi Muhammad SAW sedari awal dengan tegas mengharamkan meneteskan darah manusia.
Penegasan akan hak hidup dan hak-hak dasar lain yang dimiliki manusia di kemudian hari disampaikan secara jelas oleh Nabi Muhammad SAW secara berturut-turut, yakni dalam khutbah di Padang Arafah ketika beliau menjalankan ibadah haji yang dilakukan hanya sekali dalam seumur hidupnya atau dikenal dengan hajjah al-wadâ‘ (haji perpisahan) pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke 10 H atau bertepatan pada tahun 632 M, dan dalam khutbah Idul Adha, sehari setelahnya pada tanggal 10 Dzulhijjah pada tahun yang sama. (Adm-01A)