Bagaimana Iddahnya Istri Hamil Sebab Perselingkuhan (Zina) ?Bagaimana Iddahnya Istri Hamil Sebab Perselingkuhan (Zina) ?

bspradiopekalongan.com, MUSLIMAH VIBE – Dalam kehidupan keluarga moderen sekarang ini, berbagai persoalan muncul dan memerlukan kepastian hukum, terutama hukum agama yang menjadi solusi dalam kehidupan mengalami perkembangan yang begitu cepat.

Salah satu kasus yang terjadi adalah seorang isteri hamil akibat dari perbuatan perselingkuhanya yang mengakibatkan suaminya menceraikanya, timbul persoalan bagaimana iddahnya seorang isteri tesebut. Apakah mengikuti iddah talak (perceraian) atau iddah hamil?

Apa itu Iddah?

Perlu diketahui, wanita memiliki masa iddah, yakni masa tunggu tertentu setelah ditinggal wafat atau diceraikan suaminya. Pada masa ini pula, suami yang mencerainya bisa kembali atau rujuk kepadanya, tanpa memerlukan akad baru, selama talak yang dijatuhkan berupa talak raj‘i (bisa dirujuk). Dengan kata lain, Iddah adalah nama masa tunggu tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui kekosongan rahimnya. Kekosongan tersebut bisa diketahui dengan kelahiran, hitungan bulan, atau dengan hitungan quru’ (masa suci).

Syekh Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifâyatul Akhyâr (Terbitan: Darul Khair, Damaskus, Tahun 1994, Cetakan Pertama, jilid 1, halaman 423 dst.), telah menguraikannya kepada kita. Berikut adalah uraian ringkasannya : الْعدة اسْم لمُدَّة مَعْدُودَة تَتَرَبَّص فِيهَا الْمَرْأَة ليعرف بَرَاءَة رَحمهَا وَذَلِكَ يحصل بِالْولادَةِ تَارَة وبالأشهر أَو الْأَقْرَاء

Selanjutnya, secara global wanita yang menjalani masa iddah terbagi menjadi dua: (1) wanita yang menjalani masa iddah karena ditinggal wafat suami, dan (2) wanita yang menjalani masa iddah bukan karena ditinggal wafat, seperti dicerai, baik yang sudah bergaul suami-istri ataupun belum. Masing-masing dari keduanya terbagi lagi menjadi dua keadaan, pertama dalam keadaan hamil dan kedua tidak dalam keadaan hamil. Kemudian kondisi tidak hamil terbagi lagi menjadi dua: haid dan tidak haid.

Dengan memperhatikan sebab dan kondisinya, maka wanita yang menjalani masa iddah secara umum terbagi menjadi enam kondisi:

wanita yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil,

wanita yang ditinggal wafat suami dan tidak dalam keadaan hamil,

wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil,

wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid,

wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum haid atau sudah berhenti haid (menopouse),

wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul suami-istri. Hanya saja oleh para ulama, bagian terakhir ini seringkali tidak dimasukkan ke dalam pembagian utama wanita yang beriddah.

Jika Istri Hamil Sebab Zina Kemudian Bercerai, Apakah iddahnya ?

Seorang ustadzah Nurun Sariyyah dalam tulisanya menjelaskan, tentu saja dalam islam terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat dikalangan para ulama). Ini konteks perzinaan, ya. Untuk korban pemerkosaan lain lagi.

Dalam penjelasanya, Ustadz Nurun Sariyah mengambil pendapat madzhab.

Jika anak yang dikandung seorang isteri itu milik lelaki lain yang bukan dari suami sahnya atau merupakan hasil perselingkuhan atau perzibaab maka Iddah seorang wanita itu adalah Iddahnya wanita yang ditalak yang dimulai sejak talak (perceraian) dijatuhkan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab : Raudlatut Tholinin Wa Umdatul Muftin halaman (375/9). Menurut Pendapat Hanafiyah : tatkala semua akibat hukum dari pada akad nikah itu gugur pada hubungan zina, maka gugur pula akibat hukum itu dalam hal iddahnya.

Kemudian dalam Kitab Al Hawi Al Kabir, halaman (191-132/9) menyebutkan: Akad nikah punya akibat hukum pada kehalalan bersetubuh, kejelasan nasab anak, kewajiban nafkah, dan sebagainya dalam relasi suami istri dan keluarga. Oleh karena itu akibat hukum tersebut tak berlaku jika semua itu (bersetubuh, hamil, dst) terjadi di luar akad nikah; termasuk urusan iddah.

Wong kehamilannya di luar perkawinan yang sah, kenapa saat talak dari kawin sah iddahnya jadi ikut kehamilan itu? Sementara iddah tersebut sepaket dari rentetan akibat hukum perkawinan yang sah tadi.
Bukankah iddah itu salah satu faktornya adalah ditinggal suami?! Entah cerai, entah wafat. Nah itu abang-abang yang menghamili statusnya apadah, sehingga dianggap oke untuk si perempuan pakai iddah hamil?!
Begitulah kira-kira, yagesya.

Lalu, pertanyaan berikutnya: Jika pakai iddah talak, bagaimana cara menghitung tiga quru’nya?

Perempuan hamil kan tidak haid, maka Syafiiyah berpendapat bahwa darah yang keluar saat hamil dapat dihukumi haid jika memenuhi syarat.

Jika si perempuan tidak haid -misalnya sudah menopause- maka pakai hitungan bulan, menjadi tiga bulan masa iddah. Golongan ini disebut dzawat asyhur (ذوات الأشهر).

Jika dia mengalami haid (punya adat haid dan suci) maka pakai hitungan adat haidnya sebelum hamil. Golongan ini disebut dzawat aqra’ (ذوات الأقراء).

Jika si dzawat aqra’ ini mengalami haid di tengah kehamilannya, maka itu termasuk hitungan quru’. sebagaimana disebutkan dalam Kitab I’anah At Tholibin Halam (57/4) dan Kitab Raudlatut Tholinin Wa Umdatul Muftin halaman (375/8)

Sekian ya, well. Semoga ada manfaatnya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *