bspradiopekalongan.com, FIQH – Belakangan lagi rame diberanda media sosial yang membahas hukum sholat dikendaraan, dan saya lihat disitu bukan murni menyampaikan hukum fiqh, akan tetapi lebih kepada hawa nafsu mereka. Terlepas dari perbedaan pandangan antara dua belah pihak, tiada salahnya saya ikut mencoba membahas hukum sholat diatas kendaraan, baik kendaraan darat, laut maupun udara.
Muhammad Muzakka yang merupakan Owner Maktabah Albarizi memberikan sebuah penjelasan mengenahi Sholat didalam kendaraan yang jika saya teliti secara fiqih sebenarnya terdapat dua keadaan yaitu pertama : “sholat didalam kendaraan yang masih istiqror ( menetap ) diatas bumi, baik didaratan maupun dilaut”, seperti sholat didalam kereta api, bus, atau kapal laut. Yang kedua : “sholat didalam kendaraan yang tidak istiqror diatas bumi”, seperti sholat didalam pesawat terbang. Disini saya hanya akan membahas sholat fardlu saja.
Sholat diatas Kendaraan yang masih ISTIQROR di Bumi
Kendaraan seperti kereta api ataupun bus, ini hukumnya sama seperti kapal laut, karena sama-sama menetap diatas bumi dan tidak dinisbatkan pada orang yang sholat, atau bisa disamakan dengan orang yang membawa ranjang, berbeda dengan hewan tunggangan. Terkait sholat diatas didalam kendaraan yang masih istiqror dibumi seperti kapal laut, Imam Nawawi dalam Kitab Al Majmu’ Syarah Muhadzab menjelaskan bahwa hukumnya adalah sah.
وَتَصِحُّ الْفَرِيضَةُ فِي السَّفِينَةِ الواقفة وَالْجَارِيَةِ وَالزَّوْرَقِ الْمَشْدُودِ بِطَرَفِ السَّاحِلِ بِلَا خِلَافٍ إذَا اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَأَتَمَّ الْأَرْكَانَ
Artinya : “Dan hukumnya sah sholat fardlu dilakukan didalam kapal laut yang sedang diam ataupun berjalan, diatas perahu dayung yang diikat dipinggir pantai tanpa ada perkhilafan Ulama ketika ia bisa menghadap qiblat dan menyempurnakan rukun sholat”. [1]
Kemudian Beliau Imam Nawawi menjelaskan ketentuan-ketentuan sholat diatas kapal laut. Beliau mengatakan :
(فَرْعٌ) قَالَ أَصْحَابُنَا إذَا صَلَّى الْفَرِيضَةَ فِي السَّفِينَةِ لَمْ يَجُزْ لَهُ تَرْكُ الْقِيَامِ مَعَ الْقُدْرَةِ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الْبَرِّ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ إذَا كَانَتْ سَائِرَةً قَالَ أَصْحَابُنَا فَإِنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ دَوَرَانِ الرَّأْسِ وَنَحْوِهِ جَازَتْ الْفَرِيضَةُ قَاعِدًا لِأَنَّهُ عَاجِزٌ فَإِنْ هَبَّتْ الرِّيحُ وَحَوَّلَتْ السَّفِينَةَ فَتَحَوَّلَ وَجْهُهُ عَنْ الْقِبْلَةِ وَجَبَ رَدُّهُ إلى القبلة ويبنى عَلَى صَلَاتِهِ
Artinya : “Ashab Madzhab syafi’i telah berkata : “ jika seseorang sholat fardlu diatas kapal laut, maka ia tidak diperkenankan meninggalkan berdiri ketika mampu/memungkinkan sebagaimana jika ia sholat didaratan” dan pendapat ini juga dikatakan oelh Imam Malik dan Imam Ahmad. Imam Abu Hanifah mengatakan : “boleh meninggalkan berdiri ketika ( kapal laut ) sedang berjalan”. Ashab madzhab Imam Syafi’i mengatakan : “apabila ia terdapat udzur ( tidak memungkinkan berdiri ) semisal kepala pusing dll, maka diperbolehkan baginya sholat fardlu dengan duduk karena ia tidak mampu. Kemudian jika angin meniup dan memalingkan kapal, lalu wajahnya berpaling dari arah qiblat, maka ia wajib mengembalikan wajahnya kearah qiblat dan meneruskan sholatnya”. [2]
Masih dikitab yang sama Imam Nawawi mengatakan :
أَمَّا الرَّاكِبُ فِي سَفِينَةٍ فَيَلْزَمُهُ الِاسْتِقْبَالُ وَإِتْمَامُ الْأَرْكَانِ سواء كانت واقفة أَوْ سَائِرَةً لِأَنَّهُ لَا مَشَقَّةَ فِيهِ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya : “Adapun penumpang kapal laut, diwajibkan baginya untuk menghadap qiblat, menyempurnakan rukun-rukunnya, baik kapal tersebut diam atau berjalan karena tidak ada masyaqqoh dalam hal ini, dan ini telah disepakati oleh para Ulama” [3]
Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan :
أما الراكب في السفينة فيصلي إلى القبلة، فإن دارت السفينة استدار
Artinya :“Adapun orang yang mengerjakan sholat diatas kapal laut, maka ia wajib menghadap qiblat, dan jika kapalnya berputar, maka ia juga berputar ( kembali menghadap qiblat )” [4]
Apakah ketika tidak mampu berdiri karena kepala pusing dll, lalu ia sholat dengan duduk, diharuskan untuk mengulangi sholanya ? Dalam hal ini Imam Nawawi mengatakan tidak wajib mengulanginya. Beliau mengatakan :
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الْعَجْزِ أَنْ لَا يَتَأَتَّى الْقِيَامُ وَلَا يَكْفِي أَدْنَى مَشَقَّةٍ بَلْ الْمُعْتَبَرُ الْمَشَقَّةُ الظَّاهِرَةُ فَإِذَا خَافَ مَشَقَّةً شَدِيدَةً أَوْ زِيَادَةَ مَرَضٍ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ أَوْ خَافَ رَاكِبُ السَّفِينَةِ الْغَرَقَ أَوْ دَوَرَانَ الرَّأْسِ صَلَّى قَاعِدًا وَلَا إعَادَةَ ( المجموع شرح المهذب ج 4 صـ 310 )
Artinya : “Imam Mawardi ( 450 H ) dalam Al-Haawi kabir nya menjelaskan bahwa tidak boleh bagi orang yang sholat diatas kapal laut mengerjakan sholat dengan duduk dan ketika tidak mampu berdiri karena berdesakan, boleh duduk tapi wajib mengulanginya.”
Selanjutnya Beliau berkata :
لَيْسَ لِرَاكِبِ السَّفِينَةِ أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرِيضَةَ قَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْقِيَامِ لِكَثْرَةِ الزِّحَامِ صَلَّى قَاعِدًا لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَأَعَادَ إِذَا قَدَرَ
Artinya :“Tidak diperkenankan penumpang kapal laut, sholat fardlu dengan duduk, kemudian jika ia tidak mampu berdiri, karena berdesakan, maka ia diperbolehkan sholat sebisanya lihurmatil waqti dan wajib mengulangi sholatnya ketika mampu”.
Masih dikitab yang sama Imam Mawardi menjelaskan :
فَأَمَّا الْمُصَلِّي فِي سَفِينَةٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرِيضَةَ قَائِمًا، فَلَوْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْقِيَامِ لِكَثْرَةِ الزِّحَامِ، أَوْ صِغَرِ السَّفِينَةِ صَلَّى كَيْفَ أَمْكَنَهُ، وَأَعَادَ إِذَا قَدَرَ فِي أَظْهَرِ قَوْلَيْهِ
Artinya : “Adapun orang yang sholat didalam kapal laut, maka wajib baginya untuk berdiri. Lalu jika ia tidak mampu berdiri karena berdesak-desakan atau karena kapalnya kecil, maka ia boleh sholat sebisanya dan wajib mengulangi sholatnya ketika mampu menurut pendapat yang adhar diantara dua qoul” [5]
Dalam Ibarot Imam Nawawi diatas mengatakan jika udzurnya karena kepala pusing, maka tidak wajib mengulangi sholatnya. Sedangkan Imam Mawardi mengatakan jika udzurnya karena berdesakan, maka wajib mengulangi sholatnya. Lalu apakah kedua udzur yang berbeda tersebut dibedakan, sehingga jika karena kepala pusing tidak wajib mengulangi dan jika karena berdesakan wajib mengulangi … ?.
Syekh Sualiman bin Muhammad bin Umar Al-Buajirimi Al-Mishri ( 1221 H ) sedikit memberi pencerahan bahwa memang ada perincian dalam hal ini. yaitu, jika karena kepala pusing maka tidak wajib mengulangi dan jika karena berdesakan wajib mengulangi. Beliau mengatakan :
وَلَا يُعِيدُ رَاكِبُ سَفِينَةٍ قَعَدَ لِنَحْوِ دَوَرَانِ رَأْسٍ بِخِلَافِهِ لِزَحْمَةٍ لِنُدْرَتِهِ م ر
Artinya “Dan penumpang kapal laut tidak wajib mengulangi sholatnya ketika sholat dengan duduk karena kepala pusing, berbeda jika sebabnya adalah berdesakan karena jarangnya terjadi” [6]
Lebih cerah lagi ketika Imam Romli ( 1004 H ) dalam Nihayatul Muhtajnya mengatakan :
وَقَوْلُ الْمَاوَرْدِيِّ: تَجِبُ الْإِعَادَةُ يُحْمَلُ عَلَى مَا إذَا كَانَ الْعَجْزُ لِلزِّحَامِ لِنُدْرَتِهِ.
Artinya : “Adapun perkataan Imam Mawardi yang mengatakan wajib mengulangi sholatnya itu diarahkan pada masalah ketika memang tidak mampunya berdiri itu disebabkan karena berdesakan karena hal ini dianggap jarang terjadi”. [7]
Syekh Zakaria Al-Anshori ( 926 H ) dalam Syarah Ar-Roudl mengatakan :
(فَلَوْ صَلَّاهَا فِي هَوْدَجٍ عَلَى دَابَّةٍ وَاقِفَةٍ أَوْ سَرِيرٍ يَحْمِلُهُ رِجَالٌ) وَإِنْ مَشَوْا بِهِ (أَوْ فِي الْأُرْجُوحَةِ أَوْ الزَّوْرَقِ الْجَارِي صَحَّتْ) بِخِلَافِهَا عَلَى الدَّابَّةِ السَّائِرَةِ لِأَنَّ سَيْرَهَا مَنْسُوبٌ إلَيْهِ بِدَلِيلِ جَوَازِ الطَّوَافِ عَلَيْهَا وَفَرَّقَ الْمُتَوَلِّي بَيْنَهَا وَبَيْنَ الرِّجَالِ السَّائِرِينَ بِالسَّرِيرِ بِأَنَّ الدَّابَّةَ لَا تَكَادُ تَثْبُتُ عَلَى حَالَةٍ وَاحِدَةٍ فَلَا تُرَاعِي الْجِهَةَ بِخِلَافِ الرِّجَالِ قَالَ حَتَّى لَوْ كَانَ لِلدَّابَّةِ مَنْ يَلْزَمُ لِجَامَهَا وَيَسِيرُهَا بِحَيْثُ لَا تَخْتَلِفُ الْجِهَةُ جَازَ ذَلِكَ
Artinya :“Apabila seseorang melakukan sholat fardlu diatas tandu yang berada diatas daabbah ( hewan yang digunakan untuk kendaraan, seperti onta ) atau diatas ranjang yang dipikul oleh beberapa orang walaupun dalamkeadaan berjalan, diatas ayunan atau perahu dayung yang sedang berjalan, maka sah sholatnya. Berbeda ketika hewan tunggangan yang berjalan, karena berjalannya hewan tunggangan dinisbatkan pada orang yang sholat dengan bukti bahwa diperbolehkan towaf diatas hewan tunggangan. Imam Mutawalli membedakan antara hewan tunggangan dan beberapa orang yang berjalan memikul ranjang bahwa hewan tunggangan itu sulit untuk menetap pada satu keadaan sehingga tidak bisa menjaga arah qiblat, sedangkan beberapa orang yang memikul ranjang. Beliau mengatakan : “seandainya hewan tunggangan itu ada orang yang menetapkan arah kendalinya dan berjalan sekira tidak menoleh dari arah qiblat, maka boleh dan sah sholat diatasnya”. [8]
- Lihat Al-Majmu’ Syarah Muhadzab, Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarof An-Nawawi, Juz III Hal.241
- Lihat Al-Majmu’ Syarah Muhadzab, Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarof An-Nawawi, Juz III Hal.242
- Lihat Al-Majmu’ Syarah Muhadzab, Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarof An-Nawawi, Juz III Hal.233
- Lihat Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Az-Zuhaili Juz I Hal.766
- Lihat Al-Haawi Kabiir, Imam Mawardi Juz II Hal.381
- Lihat Hasiyah Bujairimi, Sualiman bin Muhammad bin Umar Al-Buajirimi Al-Mishri, Juz I Hal.191
- Lihat Nihayatul Muhtaj, Syamsuddin Muhammad bin Abul Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin Ar-Romli, Juz I Hal.465
- Lihat Asnal Matholib Syarah Roudlut Tholib Juz I Hal.136
